kaskus |
“Hei
kau yang di sana...!!! kemarilah duduk di sampingku, akan ku ceritakan kau
sebuah kisah yang unik dan menarik, ide yang datang dari bayangan muka si udin
di depan parkiran sana.” Si peneriak tadi ibarat orang tak tau malu memanggil
orang yang tidak di kenalnya dari jauh. Ku rasa untuk sebuah prolog
kata-katanya terlalu sukar di mengerti
tapi tak mengundang rasa penasaran. Kadang orang hanya tersenyum getir sambil
berlalu melewati
Lipatan
kakinya dengan kain bergambar
bunga-bunga di taman, taman yang tak hijau tapi biru selaras dengan air laut di
pantai senggigi sore itu, terlihat
anggun sebagai perempuan sasak. Ia menenteng tas besar berisi lauk pauk dari
desa. Sedari tadi dia menerikkan kepada orang-orang yang lewat dengan prolog
yang sama, tapi tak satupun yang mendekat. Tetap berjalan tak menghiraukan sama
sekali
Rambutnya
hitam, kulitnya sawo matang, wajahnya bak rembulan tapi tak terurus dengan
apik,bekas keringat yang mengering membuatnya terlihat lusuh. Tapi tak selusuh
semangatnya menceritakan kisah si udin kala itu. Sesekali ia meluaskan
pandangan ke arah keramaian turis turis yang berjemur di pinggir pantai, ketika
melihat tampak mukanya sangat bingung.
Diotaknya hanya ada cerita udin, cerita beruntun dengan klimaks yang tak ada.
Semakin lama ia terduduk di pantai itu semakin bertambah pula alur cerita si
udin di dalam imajinasinya. Ia mengolah kata dengan indahnya, tak mampu ia
ceritakan pada diri sendiri, kesal rasanya.
Udin di kepalanya semakin liar, menjalar ke sana-kemari, ingin segera keluar,
agar bisa di sambung kembali ceritanya di dalam imajinasi yang sudah sangat
sesak. Mulai dari parkiran depan sana, beraninya si udin berkawan lima bak seorang
berandal,meminta uang 5000an pada permpuan bersarung sasak tempat wisata
murahan seperti itu.” Aku bukan seperti kawan amerika” umpatnya keras dalam hati.
Beranjak
lagi beberapa langkah dari tempat parkiran, terlihat si udin berjejer dengan
gaya saudagar pernak-pernik aksesoris dengan harga selangit, dengan bagganya ia
menawarkan pada perempuan itu barang lokal untuk orang lokal, “aku tak akan
pantas menggunakan topi bundar karna sanggulku tak mungkin ku lepas “ umpatnya
lagi tak kalah dengan umpatan yang pertama
Dia menengok ke sebelah kanannya, terlihat perumahan dengan berkotak-kotak rapi, di
hiasi dengan pohon-pohon rindang, teringat sangat mirim dengan pajangan stiker
di rumahnya. Tak mungkin ia lupa, ia membelinya pada pedagang keliling seharga
2000 rupiah. Akan tetapi di sini amat jelas terlihat, elok sekali rupanya,
nyata pula dengan halaman yang luas namu di pagari sebagai tanda pembatas
Lalu
beberapa jam kemudian perempuan itu memutuskan berkeliling di sekitar pinggiran
pantai, tapi karna melihat si udin yang banyak si tepi-tepi pantai bergelut bersama turis-turis asing, ia
merasa muak, tak di mengerti bahasa pembicaraan mereka, hanya perempuan itu
sangat paham dengan apayang dilihatnya, si udin sedang merayu turis membeli
semacam tasbih dan hiasan-hiasan rambut. Perempuan itu nyatanya salah paham,
bukan tasbih melainkan gelang kaki dan tangan.
magazine.happyholiday.travel |
Udin yang lain menawarkan gambar tato pada lalu lalang keramaian, si perempuan
terlihat heran,kenapa orang-orang daerahnya sendiri hanya bisa menjajakan
dagangan, tidak seperti turis-turis asing yang duduk santai di kafe dekat
pantai, memesan mes dengan harga yang
tinggi dengan pelayanan super mewah.
Sejenak
perempuan itu malas berjalan di pasir putih pinggir pantai, ia ingin lewat
pinggiran taman indah dengan berugak-berugaknya yang elok dari ilalang,atapnya
terlihat halus dari jauh, sekali lgi mirip dengan stiker yang di belinya.
Anehnya
tak ada orang sasak seperti dirinya yang melewati pagar pembatas pantai dengan
taman itu,meskipun hanya sekedar lewat. yang ada hanya kelompok-kelompok
keluarga turis yang berfoto ria. Oh asyiknya.
Dia
tengok pinggir jalan masuk taman, ohh ternyata si udin berkaca mata hitam.
Kenapa harus si udin yang menjaga pintu masuk. Jika sudah menyebut si udin
pastilah berurusan dengan uang yang tak sedikit.. oh pantaiku gumam si
perempuan dalam hati, sembari mengundurkan langkah menuju pinggiran pantai yang di penuhi udin-udin yang lain.
Akhirnya
dia terduduk pada batu-batu di luar pembatas pagar, berselonjor kaki, dan mulai
meneriakkan kata-kata aneh, dengan maksud ingin bercerita. Siapapun dia, akan
tetapi janagan udin,karna ia yakin si udin tak kan mendengar.
Dia kerap
kali menggeleng-gelengkan kepala, sedari kemarin dia duduk di batu yang sama.
Hingga hari kedua ada anak kecil sekitar 8 tahunan mendekat ke tempatnya ,
bukan dengan maksud sengaja, hanya ingin mengambil balon mainan yang di
terbangkan angin.
Jarak
beberapa jengkal, sontak tangan anak kecil itu di gapainya, yang di pegang
tangannya hanya melongo, “ada apa tante yang manis???” ujarnya sambil
tersenyum. Mungkin karna dia seorang anak kecil sehingga tidak mampu membedakan
wajah lusuh dan cantik, perempuan itu hanya tersenyum.
Dia tuntun anak itu ke tempat duduknya yang semula,dia merogoh tas cangklong lusuh yang sedari kemarin tergeletak di sampingnya, oh ternyata sekerat roti pisang coklat harga seribuan, di berikan pada kawan duduk barunya. Senyumnyapun merekah
Dia tuntun anak itu ke tempat duduknya yang semula,dia merogoh tas cangklong lusuh yang sedari kemarin tergeletak di sampingnya, oh ternyata sekerat roti pisang coklat harga seribuan, di berikan pada kawan duduk barunya. Senyumnyapun merekah
Anak
laki-laki itu hanya terdiam, “ maukah kau mendengar cerita si udin??”
ungkapnya dengan sorot mata yang ceria
pada mulut kecil yang mengunyah pisang coklat.
“kenapa
kau selalu mengumpat orang yang lewat di depanmu sejak tadi” uajr anak kecil
itu
“aku
hanya benar-benar ingin bercerita tentang si udin pada mereka, jikalau tak mau,
tak apa-apa. Aku tak kuat lagi kembali tanpa bercerita terlebih dahulu. Kau
hendak kemana?? Maukah kau mendengar ceritaku dulu baru pergi”
Anak
itu mengangguk polos, menelan pisang coklat kunyahan terakhir. Sebelum
perempuan itu bercerita, seorang bapak tua sedang memegang balon-balon gas
dengan tas yang diikatkan pada pinggang berteriak memanggil anak kecil di
sampingnya.
“hei
kemarilah, cepat,,!!! Bapak mau shalat,sebelum pelanggan datang.”
Ada
raut kecewa pada perempuan itu, matanya berkaca-kaca. Pikirnya anak sekecil itu
kini juga sudah seperti si udin. Kenapa tak sekolah saja biar kelak pintar
bahasa inggris dan duduk di kafe menikmati hidangan layaknya turis-turis itu.
0 komentar:
Posting Komentar