Minggu, 21 Desember 2014

Si Udin di Pantai Senggigi ( Penjarah Lokal Untuk Orang Lokal)



kaskus


“Hei kau yang di sana...!!! kemarilah duduk di sampingku, akan ku ceritakan kau sebuah kisah yang unik dan menarik, ide yang datang dari bayangan muka si udin di depan parkiran sana.” Si peneriak tadi ibarat orang tak tau malu memanggil orang yang tidak di kenalnya dari jauh. Ku rasa untuk sebuah prolog kata-katanya terlalu sukar di  mengerti tapi tak mengundang rasa penasaran. Kadang orang hanya tersenyum getir sambil berlalu melewati

Lipatan kakinya dengan kain  bergambar bunga-bunga di taman, taman yang tak hijau tapi biru selaras dengan air laut di pantai senggigi sore itu,  terlihat anggun sebagai perempuan sasak. Ia menenteng tas besar berisi lauk pauk dari desa. Sedari tadi dia menerikkan kepada orang-orang yang lewat dengan prolog yang sama, tapi tak satupun yang mendekat. Tetap berjalan tak menghiraukan sama sekali

Rambutnya hitam, kulitnya sawo matang, wajahnya bak rembulan tapi tak terurus dengan apik,bekas keringat yang mengering membuatnya terlihat lusuh. Tapi tak selusuh semangatnya menceritakan kisah si udin kala itu. Sesekali ia meluaskan pandangan ke arah keramaian turis turis yang berjemur di pinggir pantai, ketika melihat tampak mukanya sangat bingung.

Diotaknya hanya ada cerita udin, cerita beruntun dengan klimaks yang tak ada. Semakin lama ia terduduk di pantai itu semakin bertambah pula alur cerita si udin di dalam imajinasinya. Ia mengolah kata dengan indahnya, tak mampu ia ceritakan pada diri sendiri, kesal rasanya.

Udin di kepalanya semakin liar, menjalar ke sana-kemari, ingin segera keluar, agar bisa di sambung kembali ceritanya di dalam imajinasi yang sudah sangat sesak. Mulai dari parkiran depan sana, beraninya  si udin berkawan lima bak seorang berandal,meminta uang 5000an pada permpuan bersarung sasak tempat wisata murahan seperti itu.” Aku bukan seperti kawan amerika”  umpatnya keras dalam hati.

Beranjak lagi beberapa langkah dari tempat parkiran, terlihat si udin berjejer dengan gaya saudagar pernak-pernik aksesoris dengan harga selangit, dengan bagganya ia menawarkan pada perempuan itu barang lokal untuk orang lokal, “aku tak akan pantas menggunakan topi bundar karna sanggulku tak mungkin ku lepas “ umpatnya lagi tak kalah dengan umpatan yang pertama

Dia menengok ke sebelah kanannya, terlihat perumahan dengan berkotak-kotak rapi, di hiasi dengan pohon-pohon rindang, teringat sangat mirim dengan pajangan stiker di rumahnya. Tak mungkin ia lupa, ia membelinya pada pedagang keliling seharga 2000 rupiah. Akan tetapi di sini amat jelas terlihat, elok sekali rupanya, nyata pula dengan halaman yang luas namu di pagari sebagai tanda pembatas

Lalu beberapa jam kemudian perempuan itu memutuskan berkeliling di sekitar pinggiran pantai, tapi karna melihat si udin yang banyak si tepi-tepi  pantai bergelut bersama turis-turis asing, ia merasa muak, tak di mengerti bahasa pembicaraan mereka, hanya perempuan itu sangat paham dengan apayang dilihatnya, si udin sedang merayu turis membeli semacam tasbih dan hiasan-hiasan rambut. Perempuan itu nyatanya salah paham, bukan tasbih melainkan gelang kaki dan tangan.
magazine.happyholiday.travel


Udin yang lain menawarkan gambar tato pada lalu lalang keramaian, si perempuan terlihat heran,kenapa orang-orang daerahnya sendiri hanya bisa menjajakan dagangan, tidak seperti turis-turis asing yang duduk santai di kafe dekat pantai, memesan mes dengan  harga yang tinggi dengan pelayanan super mewah. 

Sejenak perempuan itu malas berjalan di pasir putih pinggir pantai, ia ingin lewat pinggiran taman indah dengan berugak-berugaknya yang elok dari ilalang,atapnya terlihat halus dari jauh, sekali lgi mirip dengan stiker yang di belinya. 

Anehnya tak ada orang sasak seperti dirinya yang melewati pagar pembatas pantai dengan taman itu,meskipun hanya sekedar lewat. yang ada hanya kelompok-kelompok keluarga turis yang berfoto ria. Oh asyiknya.

Dia tengok pinggir jalan masuk taman, ohh ternyata si udin berkaca mata hitam. Kenapa harus si udin yang menjaga pintu masuk. Jika sudah menyebut si udin pastilah berurusan dengan uang yang tak sedikit.. oh pantaiku gumam si perempuan dalam hati, sembari mengundurkan langkah menuju pinggiran pantai  yang di penuhi udin-udin yang lain.

Akhirnya dia terduduk pada batu-batu di luar pembatas pagar, berselonjor kaki, dan mulai meneriakkan kata-kata aneh, dengan maksud ingin bercerita. Siapapun dia, akan tetapi janagan udin,karna ia yakin si udin tak kan mendengar.

Dia kerap kali menggeleng-gelengkan kepala, sedari kemarin dia duduk di batu yang sama. Hingga hari kedua ada anak kecil sekitar 8 tahunan mendekat ke tempatnya , bukan dengan maksud sengaja, hanya ingin mengambil balon mainan yang di terbangkan angin.

Jarak beberapa jengkal, sontak tangan anak kecil itu di gapainya, yang di pegang tangannya hanya melongo, “ada apa tante yang manis???” ujarnya sambil tersenyum. Mungkin karna dia seorang anak kecil sehingga tidak mampu membedakan wajah lusuh dan cantik, perempuan itu hanya tersenyum. 

Dia tuntun anak itu ke tempat duduknya yang semula,dia merogoh tas cangklong  lusuh yang sedari kemarin tergeletak di sampingnya, oh ternyata sekerat roti pisang coklat harga seribuan, di berikan pada kawan duduk barunya. Senyumnyapun merekah
Anak laki-laki itu hanya terdiam, “ maukah kau mendengar cerita si udin??” ungkapnya  dengan sorot mata yang ceria pada mulut kecil yang mengunyah pisang coklat.

“kenapa kau selalu mengumpat orang yang lewat di depanmu sejak tadi” uajr anak kecil itu
“aku hanya benar-benar ingin bercerita tentang si udin pada mereka, jikalau tak mau, tak apa-apa. Aku tak kuat lagi kembali tanpa bercerita terlebih dahulu. Kau hendak kemana?? Maukah kau mendengar ceritaku dulu baru pergi”

Anak itu mengangguk polos, menelan pisang coklat kunyahan terakhir. Sebelum perempuan itu bercerita, seorang bapak tua sedang memegang balon-balon gas dengan tas yang diikatkan pada pinggang berteriak memanggil anak kecil di sampingnya. 

“hei kemarilah, cepat,,!!! Bapak mau shalat,sebelum pelanggan datang.”
Ada raut kecewa pada perempuan itu, matanya berkaca-kaca. Pikirnya anak sekecil itu kini juga sudah seperti si udin. Kenapa tak sekolah saja biar kelak pintar bahasa inggris dan duduk di kafe menikmati hidangan layaknya turis-turis itu.

Share On:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;