Berangkat dari sebuah novel, SUJUD
NISA DI KAKI TAHAJJUD SUBUH. Buku ini terlihat sangat religius ketika kita
melihat dari segi sampulnya, ya memang ini sebuah novel religius!!.
Buku ini
tidak bercerita tentang bagaimana beribadah dengan tuhan yang semestinya, tidak
berbicara tentang pertaubatan seorang anak manusia,dll. Tapi buku ini sebagian
besar bercerita tentang bagaimana pola pikir mahasiswa seharusnya ketika duduk
di bangku kuliyah
Novel
ini sangat cocok untuk mahasiswa yang pola pikirnya hanya menganggap kuliyah sebagai
wadah mengasah potensi diri untuk persiapan pada dunia kerja. Jika kita
memandang seperti itu sangat akan kecewa orang-orang yang lulus sarjana dan
menjadi pengannguran.
Anggapan
seperti ini jangan di kira tidak besar pengaruhnya untuk mahasiswa maupun
masyarakat luas, kebanyakan sampai detik ini mahsiswa masih mempunyai pola
fikir seperti itu “kuliyah untuk mendapatkan kerja yang layak di masa depan”
sebenarnya salah besar. Lebih parahnya
lagi masyarakat kampung yang notabene masih kental ajaran agama, masih banyak
beranggapan kuliyah untuk kerja layak.
Dampaknya
banyak para orang tua beranggapan miring tentang perkuliyahan, dulunya sewaktu
masih banyak sarjana yang sukses , semua orang berbondong-bondong menyekolahkan
anaknya sampai level tertinggi, sampai-sampai rela mengorbankan kebutuhan yang
lain demi mampu mendanai kuliyah anak-anak mereka, dengan harapan anak mereka
kelak akan merubah nasib keluarga.
Itu
dulu, tapi sekarang??? Ketika lapangan
pekerjaan sedikit dengan sarjana setiap tahun yang membludak, belum lagi dengan
di berhentikannya penerimaan PNS untuk 5
tahun ke depan, jangan salah jika masyarakat yang tadinya terlihat sangat
memperhatikan pendidikan pada akhirnya akan berkata “ buat apa kuliyah kalau hanya
untuk menjadi pengangguran, dan ujung-ujungnya menjadi pelayan toko “ ironis
bukan????
Di
desa-desa banyak terliahat pemandangan ganjil, ibu-ibu muda memakai perhiasan
emas sampai berpuluh-puluh karat, kalung,cincin ,anting,gelang. Sementara anak-anak
muda lulusan SMA/aliyah mejadi kuli punggung, pengarat sapi, pembajak sawah. Kita
pasti berfikir seandainya mereka kuliyah dengan emas-emas ibu mereka, alangkah
indahnya pendidikan di negeri ini.
Miskin
sebenarnya bukan menjadi masalah untuk sebuah pendidikan S1, tapi lagi-lagi
harga bangku perkuliyahan hanya di hargai dengan sebuah pekerjaan kantoran. Jangan
salahkan ibu-ibu muda itu, wajar mereka adalah masyarakat awam, anggapan mereka
ketika anaknya sudah lulus SMA sudah waktunya membahagiakan orang tua.
Maka
novel ini menarik untuk di baca sebagai bahan pencerah untuk menganggap
perkuliyahan itu hanya untuk pekerjaan. Tokoh utamanya khalifatun nisa’ anak
kampung dari orang tua penjual madu, bersaudara 8 dengan kaka-kakak yang masih
kuliyah.
Orang tua seperti orang tua nisa adalah sosok orang tua ideal yang
berpola fikir bebeda dari masyarkat kampung lainnya. Bukan hanya anak laki-laki
yang seharusnya di kuliyahkan tapi tidak mengapa anak perempuan, justru akan
sangat bermanfaat buat kehidupan bangsa, jika perempuan-perempuannya cerdas.
Kemiskinan
bukan jadi msalah besar, di sinilah kekuatan niat dan doa, tidak lupa dengan
usaha yang maksimal. Orang tua nisa berniat menyekolahkan anaknya bukan karna
uang tetapi karna mahalnya sebuah ilmu.
Nisa’
pun begitu dengan pola fikirnya, sama dengan orang tuanya. Tetapi tidak
demikian dengan dinamika di bangku kuliyah yang syarat dengan persaingan dan
retorika hidup. Awalnya dia sanggup bertahan melawan arus dengan mahasiswa
kunang-kunang, belajar melebihi kadarnya dan tidak lupa dia berusaha mencari
uang kuliyah sendri dengan menulis novel.
Alhasil
memang beberapa semester berhasil dengan kommitmennya sendiri, tetapi setelah
menginjak semester 3 kekuatan prinsip dan imannya di tergoyahkan karna sebuah
fitnah yang di tujukan padanya.
Gadis
solehah itu mengambil keputusan fatal, membuka jilbab dan meninggalkan dunia
tulis menulis, terjerumus pada kegiatan anggota mapala (mahasiswa pecinta alam)
dan menyukai life stail.
Namun
itu tak bertahan lama, hidayah tuhan selalu ada, mungkin saja keajaiban itu
datang oleh karena doa-doa orang tua yang terijabah oleh tuhan, serta niat yang
tulus untuk menyekolahkan anaknya, hanya agar bermanfaat untuk orang banyak
berkat ilmu yang di dapatkan di bangku kuliyahnya.
Cerita
itu sangat mengena di jiwa, memberi amunisi baru untuk aku yang semangatnya
berkuarang hanya karna kerikil kecil, jadilah kita pribadi-pribadi yang kuat
dengan prinsip-prinsip yang benar. Jangan karna niat kera kita kuliyah tetapi
harus dengan niat bermanfaat untuk orang banyak, bukankah sebaik-baik manusia
adalah orang yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar