Sabtu, 30 Mei 2015 1 komentar

Celoteh tentang fokus kehidupan.




foto 2013


Ku mulai cerita pagiku dengan senyuman mengembang di bibir kering, ku hembuskan sedikit udara hangat keluar dari mulut bau belum di sikat. Cahaya matahari tembus dari pintu kamar kos ku yang sempit. Hawa kesibukan ku pagi ini sedikit berbeda dengan hari kemarin, badan terasa remuk, letih masih terasa bekas aktivitas hari kemarin.
 
Setelah mandi lengkap dengan pakaian rapi walaupun jauh dari modis, tubuhku ku pampang di jendela luar balkon tingkat dua kos bu rahmi,tubuh gempal dengan kulit yang semakin gelap.  ku mulai cerita hariku dengan penuh gembira.

Seperti kata dosen etika kebanggaanku minggu lalu, masa muda itu adalah masa di mana orang berinvestasi besar-besaran, di mana pergantian dari fase remaja ke fase dewasa, sudah waktunya serius memikirkan masa depan. 

Sebelum berangkat, ku sempatkan membaca dream book berwarna biru, oh mungkin salah istilah itu bukan buku melainkan sepotong kertas kartun manila, dahulunya ku potong menjadi dua dan ku berikan kepada sahabatku untuk menulis impian kita 5 tahun ke depan. Aku memandangnya sekilas, seolah-olah aku sudah menghapalnya di luar kepala, hanya sebagai pengingat memancing semangatku kembali membara.

Aku anak pedagang dan buruh tani miskin, sejarah hidupku kebanyakan kelam, tapi ku akui di setiap cerita selalu ku dapat pelajaran berharga. Ini tentang hidup, ia, aku akan mencitakan tentang pengalaman ku tentang kesakitan yang membuatku bisa memainkan jariku di atas tuts laptop biruku.

Hari kemarin, tepatnya tanggal 29/05 ibuku datang dengan muka cantik dan tubuhnya yang kian mengecil, untuk kedua kalinya kedatangan husus menemuiku, tak lain dia memiliki segudang cerita untuk di dongengkan kepadaku. Dy selojorkan kaki dan menidurkan kepalaku di pangkuannya, terasa nyaman, hatiku yang telah lama kering dan gersang pecah-pecah terasa terairi. Sengaja ku sibukkan diri untuk ku lipat cerita pedih hari kemarin.

ismi amiliatun sholihah


Seperti ku duga dia mulai mendongeng, aku tak tahan, ku hentikan saja dengan jeda waktu solat, ideku salah ibu sedang dalam keadaan berhadas,akupun begitu. ide lain muncul untuk menghentikan cerita usil itu, bukannya aku tak suka atau bukan seorang pendengar yang tidak baik, tapi aku takut melihat air bening dari matanya kembali keluar di hadapanku, aku muak. Simpan saja kataku, aku mengerti, hanya itu.

Setelah kepulangannya, aku mulai merasa sendiri lagi. Tak ada teman, tak ada dekapan tempat bersandar, satu-satunya tempat yaitu di dadanya tuhan, tapi sayangnya aku belum sampai bisa ke sana, keretaku masih macet, belum ada ahli tambal yang mumpuni karna otakku terlalu keras untuk di telusuri, di sisi mana tempat kebocorannya. Bukannya satu sebenarnya tapi sudah terlalu banyak. Dan akupun tertawa.

Banyak teman yang mendekat, banyak yang harus ku kerjakan dan fikirkan matang-matang dan kemudian ku tekuni sebagai pilihan hidup ke depan. Tapi yang menjadi pertanyaan pentingku kali ini, dengan siapa aku akan bermitra? Aku sudah dewasa, tanda kutip yang ku maksud bukan teman hidup pria selektif.

ismi amiliatun sholihah


Kembali ku telusuri rekam jejak orang-orang sukses itu, sebisa mungkin dari kehidupan mereka ku gauli cara berfikirnya, ku terka dari sudut mana mereka mendapatkan fokus untuk menata kehidupan bahagia. Lama ku merenung,pada ujung-ujungnya jawabannya adalah, tak mungkin ku tau sebelum aku mengalaminya sendiri dengan mencoba meniru jejak langkah mereka. Ah lucunya ku bilang.

Kesimpulannya, banyak orang bingung dengan hidupnya sendiri, termasuk aku, apa yang harus ku fokuskan dari kegiatanku sehari-hari. Terlalu banyak. Dari kawan-kawan mahasiswa sendiri ku tanyai apa rencanamu besok setelah wisuda, jawaban yang lumrah dan umum, mencari pekerjaan. Caranya ??? kalau tidak dapat??? Malah ada yang lebih aneh aku bertanya pada kawan aktivis, apa yang akan kamu lakukan minggu depan melihat keadaan kampus kita sekarang, jawabannya, belum ada intruksi dari atas, hahh...!!

Sekali lagi ku simpulkan, semuanya itu tentang seberapa fokus kamu memikirkan masa depan dan seberapa banyak pekerjaanmu mendatangkan manfaat untuk orang banyak, akan tetapi jangankan fokus, mengerjakannyapun kamu hanya bisa setengah-setengah malah tidak tau arti dari apa yang kamu kerjakan.

Cukuplah hanya untuk sekedar basa-basi.
Kamis, 28 Mei 2015 1 komentar

pertanyaannya, Rektor kami siapa? (IAIN Mataram)



 
www.iainmataram.ic.id

Mahasiswa IAIN mataram hari ini bungkam dengan segala ketidakberdayaan, baik itu keterbatasan akses informasi maupun hak untuk bersuara dan memberikan saran untuk sekedar menyampaikan aspirasi dan keluhan mereka.

idealisme mahasiswa tergadaikan, hanya dengan senioritas dan sogokan, tidak lupa pula di bubuhi intimidasi kecil-kecilan. kami bernaung di bawah lembaga ini, akan tetapi tak boleh tau dengan seluk-beluk permasalahan yan di anggap telalu pribadi di tubuh IAIN mataram. kami terlalu kecil hanya untuk tau permasalahan orang besar. begitulah kira-kira.

ini hanya pertanyaan sederhana dari beberapa kawan mahasiswa lain, terlepas dari yang mengaku dirinya aktifis, dan tentunya bukan akademisi yang tidak mau tau dan acuh tak acuh dengan retorika berbelit-belit dari dari pihak lembaga,bergelut hanya dengan buku dan penelitian.okelah kalau begitu.

selanjutnya,Kapan pelantikan rektor?? Pertanyaan itu mempunyai sisi sensitifitas yang tinggi jika di sebut pada tataran pihak yang seharusnya mempunyai porsi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mahasiswa juga termasuk dari bagian lembaga IAIN Mataram, tapi tidak tau apa tugas dan fungsi di lembaga, kami mahasiswa, tapi tidak tau apa tindakan kami dapat lakukan jika situasinya seperti hari ini dan hari yang telah lewat, kami mahasiswa tapi diam bungkam malu bertanya karna kami anak muda berkewajiban menghormati yang lebih tua.

Ini bukan lagi soal keputusan baik dan bijaksana itu bisa terlahir dari orang yang mempunyai pengalaman dan ahli pada bidangnya, terus di mana peran anak muda.? Pertanyaannya apakah karna tidak mempunyai porsi bicara pada permasalahan tersebut? Apa itu hanya permasalahan di tataran rektorat dan kementrian agama?
Beberapa hari yang lalu PGS Rektor menjelaskan dengan sangat hati-hati  ketika kami bertandang ke ruangan beliau untuk menanyakan ketidakjelasan informasi yang kami dapat. Beliau baik dalam menjawab. Setelah itu banyak kata-kata yang akhirnya menjadi PR bagi kami untuk sekedar bisa mengambil kesimpulan dari obrolan singkat kami.

Pasalnya pak Rektor menjelaskan kami mengenai informasi  ter up too date, sedangkan kami tidak tau alur sebelumnya apa. Kami manggut-manggut saja, pak rektor orang tua kami, tak pantas untuk terlalu rewel bertanya. Setidaknya kami sudah mencoba mencari, tidak hanya bisa menerima di kemudian hari ,bisa bisa menimbulkan penyesalan. 

Seperti contoh beberapa wisudawan dilematis pada beberapa minggu lalu telah mengantongi ijazah S1. Ijazah mereka di tandatangani oleh DIRGEN bukan Rektor. Tak ubahnya ijazah paket D kata kami mengolok olok. Mereka hanya senyum-senyum sambil menjawab “yang penting wisuda”

Beda lagi pada kasus pencairan uang UKM, setelah membuat proposal memohon dana untuk keakraban, kami tidak lagi menghadap ke KABAG keuangan tapi telah berpindah ke akademik masing-masing fakultas. Fakultas mana? Ini kan dana untuk organisasi. Alasannya pihak rektorat sudah tidak lagi mengelola dana setelah penundaan pelantikan rektor definitif, semua masalah keuangan sudah di limpahkan ke Akademik, walaupun itu menyangkut pelaksanaan wisuda, kkp, pkl dan lain sebagainya.

Rasanya kami seperti anak ayam yang menunggu induknya mendapat pekerjaan tetap agar kami bisa makan enak seperti biasa, sementara itu kami terpaksa di berikan roti keras hanya untuk bisa sekedar bertahan hidup.

beritasatu.com


Sementara di sisi lain kami melihat aktivis mahasiswa yang biasanya bermandikan semangat dan suara lantang menantang kebijakan menyimpang dari pejabat, nyatanya itu hanya omongan kosong tanpa bukti nyata, OKP maupun UKM tak berani bersuara. Belum lagi pihak yang memanfaatkan situasi untuk melancarkan aksi balas dendam, aji mumpung katanya. 

Gerak-gerik itu bisa terbaca, tapi siapa bisa yakinkan diri bahwa itu benar. Salah jika kita berkaca pada orang lain sementara kita sendiri tak bisa melakukan apapun untuk mewujudkan keingingan yang terlahir dari pertanyaan dan kesimpulan tanpa bukti konkrit.

sinarharapan.co


Salah siapa? Kejelasan tak ada, pertanyaan tak ada, kebijakan tak memuaskan, persaingan semakin memanas, terkesan asal-asalan. Buka-bukaan apa salahnya. Tapi kami tau itu sulit, seandainya saja kami sudah banyak pengalaman seperti kalian. Jika budaya yang di wariskan seperti sekarang ini, apa jadinya IAIN mataram beberapa tahun kemudian. 

Ini hanya corat-coret pagiku sebelum berangkat  liputan hari ini,  semoga dilancarkan..
Selasa, 26 Mei 2015 2 komentar

bertahan dengan adat, mempesona dengan penghormatan (umat Hindu-Bali baturujung mataram)



website pernikahan hindu bali


Banjar baturujung,pagutan barat kota mataram. seketika sampai pada gang perumahan yang di depannya di penuhi pure-pure kecil dengan bentuknya yang mempesona, kami di sambut oleh tiga orang tukang pemasang papin blok tepat di samping pure persembahyangan umat Hindu-Bali di pagutan barat kota mataram.

Kami tak malu bertanya, agama kami islam,kitab suci kami mengajarkan akan sopan santun dan tata krama dalam berkomunikasi antar umat beragama. Dalam salah satu aliran filsafat islam, hermeutika semua keyakinan itu benar dan bermuara pada satu tuhan yang esa, entah itu apa artinya akupun masih sekedar mengenal kulitnya.

Aku bertanya soal pemangku adat sekaligus tetua agama umat hindu di sana, lelaki bertopi jerami besar sontak memanggil pemuda yang sendang merokok dengan rambut gondrong mengkilat, wajahnyapun mengkilat terkena terpaan sinar matahari terik jam 12 lewat 10 menit. “mangku sedang tidak ada di rumah, sedang bersembahyang di pantai, cobalah ke sini jam 1 siang “ ujarnya. Aku sedikit kecewa setelah mencari mangku di tiga pure besar sekitar wilayah mataram.

aku berdua dengan salah satu kawan lelaki ku, maksudku meminta bantuannya untuk menemaniku untuk mengusir rasa penasaranku tentang sembahyang purnama bulan. Pemahaman ku waktu itu sembahyang purnama bulan adalah sebuah adat sakral,tuhan mereka juga abstrak dan ritual adat mereka yang selama ini kami tau bukan merupakan sebuah manipulasi sebagai wujud pencitraan mengenang mereka adalah umat minoritas di lombok.

sore harinya tepat pukul 04.00 kami akhirnya bisa bertemu mangku purwerane, salah satu mangku dari dua mangku yang ada di banjar baturujung. Etnis Hindu-Bali di lombok terkenal dengan kerja keras dan komitmen serta sopan santun mereka dalam berinteraksi dengan sesamanya maupun umat lain. Tidak jauh berbeda dengan etnis tionghoa, terkenal pekerja keras dalam  berwirausaha.

Kami di sambut ramah ketika kami memasuki halaman rumah dengan satu pure lengkap dengan banten di atasnya. Bahasa bali ternyata masih mereka gunakan, meskipun setelah bertahun-tahun nenek moyang mereka bermukim di wilayah itu, aku kagum  meskipun aku dan kawanku hanya bisa menerka omongan mereka. Dengan hati-hatinya aku memulai wawancarku mengenai ritual sembahyang purnama bulan.

Satu-demi satu keluarga mangku menghampiri berugak tempat kami duduk bersila, wujud dari keramahan sebagai umat beragama dan jelmaan kultur orang sasak. aku terkesan dengan pakaian berbentuk abaya dan ikat pinggang terbuat dari kain beludru. Aku terpesona dengan senyum wanita tua yang dengan hati-hatinya menjelaskanku tentang adat mereka.

Pemahaman kami ternyata salah mengenai sembahyang purnama bulan, lama bercerita akhirnya ada sekelit ucapan mereka menyinggung masalah pernikahan. Aku akhirnya menemukan pertanyaan baru melebihi rasa penasaranku akan sembahyang purnama bulan, pertanyaan besarnya adalah, mereka adalah suku Bali bertempat tinggal di lingkungan suku sasak, tak ayal jika dalam pernikahan merekapun sekali dua kali mengambil mempelai dari orang sasak.

Adat kami sangat kental jika menyangkut  adat pernikahan,ritual kami juga tak kalah panjangnya dengan ritual adat pernikahan suku lain. Dan lebih jelasnya adat pernikahan di suku sasak tidak hanya satu tetapi sangat beragam. Untuk menyatukan itu semua aku sedikit tertawa mengingat berbagai perdebatan soal adat selarian di kelas belajarku.

Mereka, umat Hindu-Bali tidak memandang sebelah mata pada adat suku lain, mereka bahkan lebih mengedepakan dan menghormati adat sasak jika perkawinan antar suku terjadi. Mangku purwarene menceritakan tentang adat mesayet, mesayet aadalah sebutan perkawinan di banjar baturujung. Menurut pemangku banjar baturujung yang mencakup 3 RT di pagutan barat adat pernikahannya sangat sulit dan lama. Dia mengaku banyak perbedaan adat mereka dengan adat umat Hindu-Bali yang lain. 

website pernikahan umat hindu


Mesayet adalah upacara adat pernikahan yang di pecah menjadi tiga bagian ritual upacara dan di laksanakan berurutan dalam waktu satu hari. Ritual yang pertama, mereka mengistilahkannya dengan pesakepan atau metebak sangku, metebak sangku merupakan upacara awal pengambilan calon mempelai perempuan dari rumah orang tua pengantin dengan cara melamar dan di pimpin oleh pemangku adat di lakukan pada berugak bertiang enam. Ketika ku tanya apa boleh metebak sangku di lakukan tidak dengan berugak bertiang enam, anak mangku menjawab boleh asalakan tidak di lakukan di pure.

Selanjutnya aku semakin tertarik pada ritual inti dari upacara adat mesayet yakni mejaye-jaye atau mewiti widane sebutan dari mereka. Mejaye-jaye tak ubahnya dengan acara akad nikah di depan penghulu oleh umat muslim, bedanya umat Hindu-Bali banjar baturujung mempunyai banyak persyaratan yang harus terpenuhi sebelum adat itu berlangsung. Di antaranya mempersiapkan banten berisi banyak makanan dan buah-buahan serta ada tikar pandan yang melambangkan kesucian si gadis yang di lamar.

Acara puncak pada ritual adat mejaye-jaye adalah metis, yaitu pemercikan air ke seluruh badan kedua mempelai, tentunya dengan air yang telah di sucikan, aku sempat di perlihatkan foto salah satu anggota keluarga mereka pada saat melangsungkan prosesi adat, pengantinnya tidak ubahnya adalah seorang bidadari dengan ayang memakai pakaian abaya di sekelilingnya, dengan mengangakat kepala pertanda memohon ridho dari sang hyang widhi sesuai harma yang di ajarkan pada agama mereka. Mejaye-jaye ini di pimpin langsung oleh pendeta, pendeta merupakan anak agung dari brahmana. 

Tapi setelah upacara mejaye-jaye selesai tak ubahnya pengantin di agama islam, tidak lengkap rasanya jika tidak di laksanakan upacara selanjutnya seperti resepsi. Tetapi agama Hindu-bali di banjar Baturujung tidak menganggap upacara yang ketiga ini semisal dengan resepsi tapi lebih kepada penyucian jiwa dan raga kedua mempelai agar keturunan mereka nantinya menjadi keturunan yang suci dan berdharma serta dapat di banggakan oleh agama mereka, nusa dan  bangsa.

Untuk pengantin sendiri upacara yang ketiga ini berguna untuk mengjindarkan mereka dari pengaruh negatif sang butha kala( pengaruh jahat dari roh-roh gaib) sehingga kebutuhan materil maupun non materil mereka terpenuhi sebagaimana harusnya.

Ngepok, ini adalah sebutan dari ritual adat terakhir mesayet umat hindu. Pada upacara ngepok pengantin pria di haruskan menyerahkan ayuge dan alat tenun. Ayuge lebih bisa kita katakan semisal dengan mesin pembajak sawah, benda ini sebagai simbol kesipan mempelai laki-laki untuk menhidupi istrinya kelak. Dan alat yang kedua yaitu alat tenun, adalah simbol dari pengabdian dan kesucian istri kepada suami, nantinya pada prosesi adat ngepok benang tenun berwarna putih itu di bentangkan sepanjang dua meter silang dua.

Setelah di bentangkan giliran kedua mempelai di tugaskan untuk memutuskan benang putih itu dengan badan mereka, secara berurutan sampai kedua helai benang tersebut putus. Setelah putus kesucian mereka sudah di akui oleh masyarakat hidndu baturujung.

pernikahan umat hindu


Sebenarnya inti pokok adat mesayet adalah satu ritual yaitu mejaye-jaye (mewiti-widane), meskipun kedua adat pertama dan terakhir tidak di lakukan kedua mempelai tetap di akui sebagai pasangan suami istri namun tidak di akui kesuciannya. Hal ini biasa terjadi pada umat Hindu yang tidak memiliki harta yang cukup.  Sebagai konsekuensinya mereka tidak boleh berdoa bersama di pure sebelum mereka melakukan adat yang terakhir yaitu ngepok.

Sebuah keringanan bagi pasangan seperti itu, ritual adat ngepok boleh di lakukan belakang hari, tidak harus di lakukan setelah ritual mejaye –jaye. Persembahan mereka pun di peringan jika tidak Celeng (babi) guling, maka boleh menggunakan ayam kuning mulus sebagai persembahan kepada dewa atau tuhan mereka.

Kami terkesan dengan adat pernikahan mereka, banyak yang ingin saya ceritakan. Dan mungkin banyak yang saya lewati dari cerita pak mangku beserta keluarga besarnya. Tapi yang paling terkesan di hatiku adalah, ketika suku mereka menikah dengan suku kami yaitu suku sasak, adat pernikahan yang lebih mereka dahulukan adalah adat sasak jika mempelai perempuannya di ambil dari suku sasak. ini bukan soal minoritas tapi soal penghormatan kepada suku lain. 

Kamipun mengakhiri perbincangan tentang adat dengan pak mangku saat senja telah telihat di muka langit. Wajah langit memerah seperti mungkin rona pipiku, sangat bahagia rasanya aku bisa berbagi cerita dengan umat agama lain tapi masih dengan jilbab merahku. Islam yang ku cintai adalah agama sempurna, banyak aliran, banyak persepsi, banyak pilihan, tapi islamku bukannya terpecah melainkan modernisasai islam sudah menjadi kewajiban bersama.

Jika umat hindu masih memandang dengan hormat aku yang berjilbab kenapa harus ada paham sekuler, belum cukupkah perdamaian dengan firman tuhan “walal aa hirotukhoiru laka minal ula”  yang artinya dan allah lebih suka kamu terakhir daripada terdahulu. Tuhanku lebih suka aku yang sekarang dari pada yang terdahulu. Modernitas itu perlu tetapi tidak liberal dan jatuh pada paham sekuler.
 
;