website pernikahan hindu bali |
Banjar baturujung,pagutan barat kota mataram. seketika sampai pada gang perumahan yang di depannya di penuhi pure-pure kecil dengan bentuknya yang mempesona, kami di sambut oleh tiga orang tukang pemasang papin blok tepat di samping pure persembahyangan umat Hindu-Bali di pagutan barat kota mataram.
Kami tak malu bertanya, agama kami islam,kitab suci kami mengajarkan akan
sopan santun dan tata krama dalam berkomunikasi antar umat beragama. Dalam
salah satu aliran filsafat islam, hermeutika semua keyakinan itu benar dan
bermuara pada satu tuhan yang esa, entah itu apa artinya akupun masih sekedar
mengenal kulitnya.
Aku bertanya soal pemangku adat sekaligus tetua agama umat hindu di sana,
lelaki bertopi jerami besar sontak memanggil pemuda yang sendang merokok dengan
rambut gondrong mengkilat, wajahnyapun mengkilat terkena terpaan sinar matahari
terik jam 12 lewat 10 menit. “mangku sedang tidak ada di rumah, sedang
bersembahyang di pantai, cobalah ke sini jam 1 siang “ ujarnya. Aku sedikit
kecewa setelah mencari mangku di tiga pure besar sekitar wilayah mataram.
aku berdua dengan salah satu kawan lelaki ku, maksudku meminta bantuannya
untuk menemaniku untuk mengusir rasa penasaranku tentang sembahyang purnama
bulan. Pemahaman ku waktu itu sembahyang purnama bulan adalah sebuah adat sakral,tuhan
mereka juga abstrak dan ritual adat mereka yang selama ini kami tau bukan
merupakan sebuah manipulasi sebagai wujud pencitraan mengenang mereka adalah
umat minoritas di lombok.
sore harinya tepat pukul 04.00 kami akhirnya bisa bertemu mangku purwerane,
salah satu mangku dari dua mangku yang ada di banjar baturujung. Etnis
Hindu-Bali di lombok terkenal dengan kerja keras dan komitmen serta sopan
santun mereka dalam berinteraksi dengan sesamanya maupun umat lain. Tidak jauh
berbeda dengan etnis tionghoa, terkenal pekerja keras dalam berwirausaha.
Kami di sambut ramah ketika kami memasuki halaman rumah dengan satu pure
lengkap dengan banten di atasnya. Bahasa bali ternyata masih mereka gunakan,
meskipun setelah bertahun-tahun nenek moyang mereka bermukim di wilayah itu,
aku kagum meskipun aku dan kawanku hanya
bisa menerka omongan mereka. Dengan hati-hatinya aku memulai wawancarku
mengenai ritual sembahyang purnama bulan.
Satu-demi satu keluarga mangku menghampiri berugak tempat kami duduk
bersila, wujud dari keramahan sebagai umat beragama dan jelmaan kultur orang
sasak. aku terkesan dengan pakaian berbentuk abaya dan ikat pinggang terbuat
dari kain beludru. Aku terpesona dengan senyum wanita tua yang dengan
hati-hatinya menjelaskanku tentang adat mereka.
Pemahaman kami ternyata salah mengenai sembahyang purnama bulan, lama
bercerita akhirnya ada sekelit ucapan mereka menyinggung masalah pernikahan.
Aku akhirnya menemukan pertanyaan baru melebihi rasa penasaranku akan
sembahyang purnama bulan, pertanyaan besarnya adalah, mereka adalah suku Bali
bertempat tinggal di lingkungan suku sasak, tak ayal jika dalam pernikahan
merekapun sekali dua kali mengambil mempelai dari orang sasak.
Adat kami sangat kental jika menyangkut
adat pernikahan,ritual kami juga tak kalah panjangnya dengan ritual adat
pernikahan suku lain. Dan lebih jelasnya adat pernikahan di suku sasak tidak
hanya satu tetapi sangat beragam. Untuk menyatukan itu semua aku sedikit
tertawa mengingat berbagai perdebatan soal adat selarian di kelas belajarku.
Mereka, umat Hindu-Bali tidak memandang sebelah mata pada adat suku lain,
mereka bahkan lebih mengedepakan dan menghormati adat sasak jika perkawinan
antar suku terjadi. Mangku purwarene menceritakan tentang adat mesayet, mesayet
aadalah sebutan perkawinan di banjar baturujung. Menurut pemangku banjar baturujung
yang mencakup 3 RT di pagutan barat adat pernikahannya sangat sulit dan lama. Dia
mengaku banyak perbedaan adat mereka dengan adat umat Hindu-Bali yang lain.
website pernikahan umat hindu |
Mesayet adalah upacara adat pernikahan yang di pecah menjadi tiga bagian
ritual upacara dan di laksanakan berurutan dalam waktu satu hari. Ritual yang
pertama, mereka mengistilahkannya dengan pesakepan atau metebak sangku, metebak
sangku merupakan upacara awal pengambilan calon mempelai perempuan dari rumah
orang tua pengantin dengan cara melamar dan di pimpin oleh pemangku adat di
lakukan pada berugak bertiang enam. Ketika ku tanya apa boleh metebak sangku di
lakukan tidak dengan berugak bertiang enam, anak mangku menjawab boleh asalakan
tidak di lakukan di pure.
Selanjutnya aku semakin tertarik pada ritual inti dari upacara adat mesayet
yakni mejaye-jaye atau mewiti widane sebutan dari mereka. Mejaye-jaye tak
ubahnya dengan acara akad nikah di depan penghulu oleh umat muslim, bedanya
umat Hindu-Bali banjar baturujung mempunyai banyak persyaratan yang harus
terpenuhi sebelum adat itu berlangsung. Di antaranya mempersiapkan banten
berisi banyak makanan dan buah-buahan serta ada tikar pandan yang melambangkan
kesucian si gadis yang di lamar.
Acara puncak pada ritual adat mejaye-jaye adalah metis, yaitu pemercikan
air ke seluruh badan kedua mempelai, tentunya dengan air yang telah di sucikan,
aku sempat di perlihatkan foto salah satu anggota keluarga mereka pada saat
melangsungkan prosesi adat, pengantinnya tidak ubahnya adalah seorang bidadari
dengan ayang memakai pakaian abaya di sekelilingnya, dengan mengangakat kepala
pertanda memohon ridho dari sang hyang widhi sesuai harma yang di ajarkan pada
agama mereka. Mejaye-jaye ini di pimpin langsung oleh pendeta, pendeta
merupakan anak agung dari brahmana.
Tapi setelah upacara mejaye-jaye selesai tak ubahnya pengantin di agama
islam, tidak lengkap rasanya jika tidak di laksanakan upacara selanjutnya
seperti resepsi. Tetapi agama Hindu-bali di banjar Baturujung tidak menganggap
upacara yang ketiga ini semisal dengan resepsi tapi lebih kepada penyucian jiwa
dan raga kedua mempelai agar keturunan mereka nantinya menjadi keturunan yang
suci dan berdharma serta dapat di banggakan oleh agama mereka, nusa dan bangsa.
Untuk pengantin sendiri upacara yang ketiga ini berguna untuk mengjindarkan
mereka dari pengaruh negatif sang butha kala( pengaruh jahat dari roh-roh gaib)
sehingga kebutuhan materil maupun non materil mereka terpenuhi sebagaimana
harusnya.
Ngepok, ini adalah sebutan dari ritual adat terakhir mesayet umat hindu. Pada
upacara ngepok pengantin pria di haruskan menyerahkan ayuge dan alat tenun. Ayuge
lebih bisa kita katakan semisal dengan mesin pembajak sawah, benda ini sebagai
simbol kesipan mempelai laki-laki untuk menhidupi istrinya kelak. Dan alat yang
kedua yaitu alat tenun, adalah simbol dari pengabdian dan kesucian istri kepada
suami, nantinya pada prosesi adat ngepok benang tenun berwarna putih itu di
bentangkan sepanjang dua meter silang dua.
Setelah di bentangkan giliran kedua mempelai di tugaskan untuk memutuskan
benang putih itu dengan badan mereka, secara berurutan sampai kedua helai
benang tersebut putus. Setelah putus kesucian mereka sudah di akui oleh
masyarakat hidndu baturujung.
pernikahan umat hindu |
Sebenarnya inti pokok adat mesayet adalah satu ritual yaitu mejaye-jaye
(mewiti-widane), meskipun kedua adat pertama dan terakhir tidak di lakukan
kedua mempelai tetap di akui sebagai pasangan suami istri namun tidak di akui
kesuciannya. Hal ini biasa terjadi pada umat Hindu yang tidak memiliki harta
yang cukup. Sebagai konsekuensinya
mereka tidak boleh berdoa bersama di pure sebelum mereka melakukan adat yang
terakhir yaitu ngepok.
Sebuah keringanan bagi pasangan seperti itu, ritual adat ngepok boleh di
lakukan belakang hari, tidak harus di lakukan setelah ritual mejaye –jaye. Persembahan
mereka pun di peringan jika tidak Celeng (babi) guling, maka boleh menggunakan
ayam kuning mulus sebagai persembahan kepada dewa atau tuhan mereka.
Kami terkesan dengan adat pernikahan mereka, banyak yang ingin saya
ceritakan. Dan mungkin banyak yang saya lewati dari cerita pak mangku beserta
keluarga besarnya. Tapi yang paling terkesan di hatiku adalah, ketika suku mereka
menikah dengan suku kami yaitu suku sasak, adat pernikahan yang lebih mereka
dahulukan adalah adat sasak jika mempelai perempuannya di ambil dari suku
sasak. ini bukan soal minoritas tapi soal penghormatan kepada suku lain.
Kamipun mengakhiri perbincangan tentang adat dengan pak mangku saat senja
telah telihat di muka langit. Wajah langit memerah seperti mungkin rona pipiku,
sangat bahagia rasanya aku bisa berbagi cerita dengan umat agama lain tapi
masih dengan jilbab merahku. Islam yang ku cintai adalah agama sempurna, banyak
aliran, banyak persepsi, banyak pilihan, tapi islamku bukannya terpecah
melainkan modernisasai islam sudah menjadi kewajiban bersama.
Jika umat hindu masih memandang dengan hormat aku yang berjilbab kenapa
harus ada paham sekuler, belum cukupkah perdamaian dengan firman tuhan “walal
aa hirotukhoiru laka minal ula” yang
artinya dan allah lebih suka kamu terakhir daripada terdahulu. Tuhanku lebih
suka aku yang sekarang dari pada yang terdahulu. Modernitas itu perlu tetapi
tidak liberal dan jatuh pada paham sekuler.
2 komentar:
Kren tulisannya adk
begitu dong, tetap semangat menulis
Posting Komentar