Selasa, 26 Mei 2015

bertahan dengan adat, mempesona dengan penghormatan (umat Hindu-Bali baturujung mataram)



website pernikahan hindu bali


Banjar baturujung,pagutan barat kota mataram. seketika sampai pada gang perumahan yang di depannya di penuhi pure-pure kecil dengan bentuknya yang mempesona, kami di sambut oleh tiga orang tukang pemasang papin blok tepat di samping pure persembahyangan umat Hindu-Bali di pagutan barat kota mataram.

Kami tak malu bertanya, agama kami islam,kitab suci kami mengajarkan akan sopan santun dan tata krama dalam berkomunikasi antar umat beragama. Dalam salah satu aliran filsafat islam, hermeutika semua keyakinan itu benar dan bermuara pada satu tuhan yang esa, entah itu apa artinya akupun masih sekedar mengenal kulitnya.

Aku bertanya soal pemangku adat sekaligus tetua agama umat hindu di sana, lelaki bertopi jerami besar sontak memanggil pemuda yang sendang merokok dengan rambut gondrong mengkilat, wajahnyapun mengkilat terkena terpaan sinar matahari terik jam 12 lewat 10 menit. “mangku sedang tidak ada di rumah, sedang bersembahyang di pantai, cobalah ke sini jam 1 siang “ ujarnya. Aku sedikit kecewa setelah mencari mangku di tiga pure besar sekitar wilayah mataram.

aku berdua dengan salah satu kawan lelaki ku, maksudku meminta bantuannya untuk menemaniku untuk mengusir rasa penasaranku tentang sembahyang purnama bulan. Pemahaman ku waktu itu sembahyang purnama bulan adalah sebuah adat sakral,tuhan mereka juga abstrak dan ritual adat mereka yang selama ini kami tau bukan merupakan sebuah manipulasi sebagai wujud pencitraan mengenang mereka adalah umat minoritas di lombok.

sore harinya tepat pukul 04.00 kami akhirnya bisa bertemu mangku purwerane, salah satu mangku dari dua mangku yang ada di banjar baturujung. Etnis Hindu-Bali di lombok terkenal dengan kerja keras dan komitmen serta sopan santun mereka dalam berinteraksi dengan sesamanya maupun umat lain. Tidak jauh berbeda dengan etnis tionghoa, terkenal pekerja keras dalam  berwirausaha.

Kami di sambut ramah ketika kami memasuki halaman rumah dengan satu pure lengkap dengan banten di atasnya. Bahasa bali ternyata masih mereka gunakan, meskipun setelah bertahun-tahun nenek moyang mereka bermukim di wilayah itu, aku kagum  meskipun aku dan kawanku hanya bisa menerka omongan mereka. Dengan hati-hatinya aku memulai wawancarku mengenai ritual sembahyang purnama bulan.

Satu-demi satu keluarga mangku menghampiri berugak tempat kami duduk bersila, wujud dari keramahan sebagai umat beragama dan jelmaan kultur orang sasak. aku terkesan dengan pakaian berbentuk abaya dan ikat pinggang terbuat dari kain beludru. Aku terpesona dengan senyum wanita tua yang dengan hati-hatinya menjelaskanku tentang adat mereka.

Pemahaman kami ternyata salah mengenai sembahyang purnama bulan, lama bercerita akhirnya ada sekelit ucapan mereka menyinggung masalah pernikahan. Aku akhirnya menemukan pertanyaan baru melebihi rasa penasaranku akan sembahyang purnama bulan, pertanyaan besarnya adalah, mereka adalah suku Bali bertempat tinggal di lingkungan suku sasak, tak ayal jika dalam pernikahan merekapun sekali dua kali mengambil mempelai dari orang sasak.

Adat kami sangat kental jika menyangkut  adat pernikahan,ritual kami juga tak kalah panjangnya dengan ritual adat pernikahan suku lain. Dan lebih jelasnya adat pernikahan di suku sasak tidak hanya satu tetapi sangat beragam. Untuk menyatukan itu semua aku sedikit tertawa mengingat berbagai perdebatan soal adat selarian di kelas belajarku.

Mereka, umat Hindu-Bali tidak memandang sebelah mata pada adat suku lain, mereka bahkan lebih mengedepakan dan menghormati adat sasak jika perkawinan antar suku terjadi. Mangku purwarene menceritakan tentang adat mesayet, mesayet aadalah sebutan perkawinan di banjar baturujung. Menurut pemangku banjar baturujung yang mencakup 3 RT di pagutan barat adat pernikahannya sangat sulit dan lama. Dia mengaku banyak perbedaan adat mereka dengan adat umat Hindu-Bali yang lain. 

website pernikahan umat hindu


Mesayet adalah upacara adat pernikahan yang di pecah menjadi tiga bagian ritual upacara dan di laksanakan berurutan dalam waktu satu hari. Ritual yang pertama, mereka mengistilahkannya dengan pesakepan atau metebak sangku, metebak sangku merupakan upacara awal pengambilan calon mempelai perempuan dari rumah orang tua pengantin dengan cara melamar dan di pimpin oleh pemangku adat di lakukan pada berugak bertiang enam. Ketika ku tanya apa boleh metebak sangku di lakukan tidak dengan berugak bertiang enam, anak mangku menjawab boleh asalakan tidak di lakukan di pure.

Selanjutnya aku semakin tertarik pada ritual inti dari upacara adat mesayet yakni mejaye-jaye atau mewiti widane sebutan dari mereka. Mejaye-jaye tak ubahnya dengan acara akad nikah di depan penghulu oleh umat muslim, bedanya umat Hindu-Bali banjar baturujung mempunyai banyak persyaratan yang harus terpenuhi sebelum adat itu berlangsung. Di antaranya mempersiapkan banten berisi banyak makanan dan buah-buahan serta ada tikar pandan yang melambangkan kesucian si gadis yang di lamar.

Acara puncak pada ritual adat mejaye-jaye adalah metis, yaitu pemercikan air ke seluruh badan kedua mempelai, tentunya dengan air yang telah di sucikan, aku sempat di perlihatkan foto salah satu anggota keluarga mereka pada saat melangsungkan prosesi adat, pengantinnya tidak ubahnya adalah seorang bidadari dengan ayang memakai pakaian abaya di sekelilingnya, dengan mengangakat kepala pertanda memohon ridho dari sang hyang widhi sesuai harma yang di ajarkan pada agama mereka. Mejaye-jaye ini di pimpin langsung oleh pendeta, pendeta merupakan anak agung dari brahmana. 

Tapi setelah upacara mejaye-jaye selesai tak ubahnya pengantin di agama islam, tidak lengkap rasanya jika tidak di laksanakan upacara selanjutnya seperti resepsi. Tetapi agama Hindu-bali di banjar Baturujung tidak menganggap upacara yang ketiga ini semisal dengan resepsi tapi lebih kepada penyucian jiwa dan raga kedua mempelai agar keturunan mereka nantinya menjadi keturunan yang suci dan berdharma serta dapat di banggakan oleh agama mereka, nusa dan  bangsa.

Untuk pengantin sendiri upacara yang ketiga ini berguna untuk mengjindarkan mereka dari pengaruh negatif sang butha kala( pengaruh jahat dari roh-roh gaib) sehingga kebutuhan materil maupun non materil mereka terpenuhi sebagaimana harusnya.

Ngepok, ini adalah sebutan dari ritual adat terakhir mesayet umat hindu. Pada upacara ngepok pengantin pria di haruskan menyerahkan ayuge dan alat tenun. Ayuge lebih bisa kita katakan semisal dengan mesin pembajak sawah, benda ini sebagai simbol kesipan mempelai laki-laki untuk menhidupi istrinya kelak. Dan alat yang kedua yaitu alat tenun, adalah simbol dari pengabdian dan kesucian istri kepada suami, nantinya pada prosesi adat ngepok benang tenun berwarna putih itu di bentangkan sepanjang dua meter silang dua.

Setelah di bentangkan giliran kedua mempelai di tugaskan untuk memutuskan benang putih itu dengan badan mereka, secara berurutan sampai kedua helai benang tersebut putus. Setelah putus kesucian mereka sudah di akui oleh masyarakat hidndu baturujung.

pernikahan umat hindu


Sebenarnya inti pokok adat mesayet adalah satu ritual yaitu mejaye-jaye (mewiti-widane), meskipun kedua adat pertama dan terakhir tidak di lakukan kedua mempelai tetap di akui sebagai pasangan suami istri namun tidak di akui kesuciannya. Hal ini biasa terjadi pada umat Hindu yang tidak memiliki harta yang cukup.  Sebagai konsekuensinya mereka tidak boleh berdoa bersama di pure sebelum mereka melakukan adat yang terakhir yaitu ngepok.

Sebuah keringanan bagi pasangan seperti itu, ritual adat ngepok boleh di lakukan belakang hari, tidak harus di lakukan setelah ritual mejaye –jaye. Persembahan mereka pun di peringan jika tidak Celeng (babi) guling, maka boleh menggunakan ayam kuning mulus sebagai persembahan kepada dewa atau tuhan mereka.

Kami terkesan dengan adat pernikahan mereka, banyak yang ingin saya ceritakan. Dan mungkin banyak yang saya lewati dari cerita pak mangku beserta keluarga besarnya. Tapi yang paling terkesan di hatiku adalah, ketika suku mereka menikah dengan suku kami yaitu suku sasak, adat pernikahan yang lebih mereka dahulukan adalah adat sasak jika mempelai perempuannya di ambil dari suku sasak. ini bukan soal minoritas tapi soal penghormatan kepada suku lain. 

Kamipun mengakhiri perbincangan tentang adat dengan pak mangku saat senja telah telihat di muka langit. Wajah langit memerah seperti mungkin rona pipiku, sangat bahagia rasanya aku bisa berbagi cerita dengan umat agama lain tapi masih dengan jilbab merahku. Islam yang ku cintai adalah agama sempurna, banyak aliran, banyak persepsi, banyak pilihan, tapi islamku bukannya terpecah melainkan modernisasai islam sudah menjadi kewajiban bersama.

Jika umat hindu masih memandang dengan hormat aku yang berjilbab kenapa harus ada paham sekuler, belum cukupkah perdamaian dengan firman tuhan “walal aa hirotukhoiru laka minal ula”  yang artinya dan allah lebih suka kamu terakhir daripada terdahulu. Tuhanku lebih suka aku yang sekarang dari pada yang terdahulu. Modernitas itu perlu tetapi tidak liberal dan jatuh pada paham sekuler.
Share On:

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Kren tulisannya adk

lombokmenulis mengatakan...

begitu dong, tetap semangat menulis

Posting Komentar

 
;