Rabu, 11 Februari 2015

Permataku Yang Hilang

 
duniapuisi12

Sebuah kesanggupan

Tercermin dari matanya
Turun ke dadanya
Tak terlihat dengan telanjang mata
Tapi dengan mata telanjang pun bisa

Labing-labing gelap dengan pesona masjid
Al-ayyubi turun dari sela gang dolly
Minta satu..tahun akan segera berganti
Bergilir-gilir dengan kemudi bobol

Kesanggupan tak jadi pilihan
Ikrar tak jadi masalah
Ketepatan bukan sebuah janji tuhan
Bukan ketulusan tapi kebirian

Semenjak tumpah air dari ketuban berdarah
Mati matian dengan erangan 
Aku ingin tuli seketika
Membayangkan masa akan bertindak atasnya

Jangan di buai manis, pahitpun salah
Tali temali panjang semoga tak terputus di tengah jalan
Aku pun berderai dengan penuh bangga
Melankolis mengalir dari nadi-nadi penuh semangat
Mimpi apa aku semalam, mendengar azan itu pertanda kesanggupan

Kepala mahluk lain

Seperti hawa di sore ini
Tulang terasa remuk dengan cuaca yang kian tak menentu
Rinai-rinai gerimis tak terasa akan terjun
Mahluk apa yang terlihat seperti titik hitam di karpet hijau nan luas itu
Dia berjalan umpama semut

Tergesa-gesa melebihi kekuasaan langkahnya
Sangkakala akan segera tiba
Lebih indah pajar kiranya daripada senja
Lebih rekatkan kaca mata pemberian tuhan
Kini malah kabur saking dekatnya

Dia sambungan dari kerangka-kerangkaku
Tubuhnya indah,lebih menarik dengan kuku-kuku kakinya yang hitam
Bau keringatnya amat ku kagumi, seperti bau keringatku sendiri
Dia baru kembali, matanya terlihat sayup

Dia seumpama pemburu
Sasarannya tak tepat ia pun merengut
Karna panahnya penentu nasib kami di rumah


Wajah hijau pucat

Sesuai dengan masa kini
Wajah hijau telah menjadi wajah merah
Tembok-tembok pembatas sebenarnya telah lama gembur
tinggal tunggu elusan tangan si patung mulia 

yang telah raib,bayangan tanpa jasad
Bintang dibarat dengan hikmahnya di timur
Elusan sentuhan sinarnya lemah dibarat tak terkalahkan ditimur
Duduk si awam dengan mata terpejam

Hanya tau alif dan ba’ saat dulu dibangku madrasah
Wajah-wajah tak berdosa
Murni jernih bilang si dia
Hanya tau dan menempati wadah, tak tau menahu hakikatnya apa.
Atap langit terasa sudah tak sejuk lagi di waktu malam

Tak ada jawaban, doapun terasa sudah tak terijabahkan
Dia bilangg…. Itu yang benar, situ yang durjana .
Bilang saja daku bulu-bulu halus keluar dari pakaian yang tak pernah di setrika ulang
Aren yang ku sadap tak manis lagi ketika berhadapan dengan gula

Tak murni lagi seperti buatan yang di anggap kamil
Geram daku….
Aku bukan tanah bau tak bertuan
Jika saja tembok gembur runtuh dengan sendirinya
Bukan dengan sebab kau duhai maulanaku tercinta…!


Kehilangan



Ku tanam seribu mutiara di tengah gundukan pasir yang besar
Atau mungkin ku pintal benang tuk ku bentangkan ke arah cahaya yang terang
Berharap esok ku temui utuh, dengan tak satupun lapuk ataupun menghilang
Itulah salah satu alasan kenapa ku tanam di pasir, bukannya tanah.
...
Agar ku tak sampai menggali, cukup hanya dengan terpaan angin
Itulah salah satu alasan kenapa ke tempat yang terang agar tak terjangkau gelap
Di saat ku sebut namamu dalam redupnya nyala lilin
Selalu ku ikut sertakan bayangan keagunganmu datang menyambut langkah_langkah penuh ketulusan

Nirwana yang kau janjikan begitu sangat jelas,namun remang bagi mata rabunku
Akankah bisa kulihat jelas jika mutiara yang ku tanam telah hilang satu persatu.
Tak sanggup lagi menerangi langkah-langku menuju keagunganmu
Layaknya keledai tertinggal kuda-kuda putih

Siapa daku yang mengharap sinar rembulan selalu menuntunku ke tempat abadi penuh keindahan
Tak sanggup lagi dadaku berdebar sembari memikirkannya
Ku pinjam saja bulu mata lentik bidadari tuk menutupi pandanganku dari segenap kerusuhan




Mawar palsu

Bila saja waktu itu sesiapa pernah berkata
Datang waktunya bunga mawar yang merahnya dari darah
Yang ranumnya dari wewangian
tangkainya dari sapu lidi

Dan lambaiannya dari kertas lemas
Biar saja sesiapapun tertipu
Sang penggemar pun bisa curiga
Bunga mawar palsu

Tapi mana mungkin aku tertipu,
Mataku tercipta untuk menelanjangimu
aku harap kau mesti waspada,
patah tangkaimu,

ayunan pesonamu sudah tak menarik lagi
Jangankan mataku, mata rabun pun tahu kau sudah tak menawan
Musnahlah, biar ku tanam kau di tanah abadi
aku basuh darah di warnamu sehingga menjadi putih

Hingga kau tak butuh daun untuk menambah pesona…
Setelah itu kau boleh bangga , tunggu penghisap harummu yang ranum
Bukan wewangian buatan lagi  yang kau punya wewangian diriku yang sebenarnya kau dambakan ada padamu sejak dulu



Abituren tak setia

Seorang bertengger  di balik batu sebesar gunung.
Ibarat liliput  yang dulunya besar, kini kerdil,kucil,kumal.
Menatap ke atas tanpa sepatah kata..
Dimana daku di mana kiranya sepatu baruku.

Kini ku tak bisa berjalan,jalanan becek,kakiku bernanah,berdarah.
Tak kuat lagi ku kenakan sepatu.
Dulunya kalbuku terisi penuh dengan mutiara-mutiara karomahmu
Tak sempat terpikir melirik yang tak perlu di lirik

Seakan ku lihat keranda mayatku telah di persiapkan sebelum tiba ajalku.
Aku takut.......!!!!
Dulunya  petuah-petuahmu tak sampai jatuh,terlupakan
Melainkan segera ku tunaikan, ku anggap ranting sabda-sabda nabiku
Di sini, kau terasa jauh...!! seakan rasanya tercoreng dari barisan para abituren-abituren setiamu.

Ku tata kalbu, ku buka wasiat sebagai lem perekat kalbu. Kalbu yang sedikit bernanah.
Tak sempat ku obati dengan sekedar membaca petuah berhargamu..
Semoga batu besar itu tak digelincirkan longsor ke arah ku.
Sebelum tubuh liliputku membentuk gerakan manuver menuju ke arah mu.

Semoga keranda mayatku belum waktunya terisi
Sebelum kaki bernanahku menemukan sepatu baruku.
dan semoga masih ada tersisa sedikit ruang dalam barisan abituren abituren itu.
Senduku akan menghilang
Kesepianku akan lenyap
Ketika akan ku pijakkan kaki di kota damaimu.



Penasaran

Ku habiskan nafasku tuk mengisi ruang kosong di dadamu
Bukan dulu saat bersamamu,
 yang ku maksud kini saat semuanya ku babat habis
Sebait demi sebait kata ku rangkai, 
tapi bila telah jadi ingin ku sobek mulut jahannam yang berani beraninya merangkai kata-kata sedemikiannya untuk dirimu

Ku benci, muak,
jika saja ruang kosong di dadamu tak pernah ku isi dengan separuh nafasku
Jika saja malam-malam yang dingin tak pernah mengantarkan jasadmu padaku
Jika saja ku tau tabir-tabir mimpimu tak pernah ku singkap dengan derai air mataku

Aku tak kan semenderita ini, membiarkan sang pengemudi di dalam diriku tak tau arah
Yang kau wariskan hanya pagar-pagar pembatas
Mata jalang penuh birahi dengan mata selembut selendang sutra
Mana yang kau pilih, atau tepatnya mana yang termasuk dirimu...

Kulihat dirimu malang
Kulihat dirimu seakan-akan terbang ke awan
Kulihat dirimu kini lebih dari sebelumnya
Terkadang juga tidak

Ku lihat dirimu seperti bungkus kacang terlipat-lipat kemudian di buang pemiliknya
Kulihat liurmu keluar melewati leher
Tidak, semuanya salah
Karena aku sendiri tak lebih dari angin lewat
Yang melihat dan bisa menerka dirimu dalam sekejap
Jika saja semua itu benar. 

Semangat murahan

Di panjangnya jalan menuju keterangan sebuah pernyataan
Ku pejamkan mata,mengharap ku sampai tanpa harus tersandung ibarat si buta
Minat bercampur dengan gairah

Sementara kemampuan ku hanya bisa meleburkan batu cadas
Bukanlah suatu ayal jika bunda tak menghendaki persetujuan,
Ku harap jalan semakin panjang ketika ku tapaki
Agar lelahnya bisa kunikmati

Dan suksesku dapat medali
Ku harap matahari tak memberi cahaya pada mata meskipun terpejam
Padahal gelap,sangat gelap, tapi karna semangatku terasa ada sedikit masuk terang
Ku rasa kakiku kesemutan,

Sebelum akhir tujuan
Tunggu akuuuuu
 Sejatinya inilah diriku, tak bisa melihat bukan karna tak sempat membuka mata
Tapi memang mataku buta untuk  jalan yang panjang ke sana
Untuk sementara



hanyut

Ku ingin mengalir.....
Mengisi telaga yang kering namun terlewati
Ku ingin mengalir.....
Berhenti di tiap tong kosong yang berwadah tinggi
Ku ingin mengalir.....
Sesuai dengan hukum air,
menuruni pipa-pipa  rendah yang tak mungkin menanjak naik
ku ingin mengalir.....
sebesar aliran air terjun terbesar yang pernah ada
ku ingin mengalir.....
deras, namun tak satupun mata kumbang terhanyut
ku ingin mengalir.....
melambai indah dengan dekapan si pemujaku
ku ingin mengalir.....
tanpa akhir mengerikan, bila kau yang terhanyut bersamaku
penuh sesal jika tak menemukan arus tuk kembali
 


Surga simpanan kelabu

Sendu bertiarap di bilik
Air bening meleleh membentuk bundaran-bundaran kecil
Gurun pasir lembut siaga terpaan angin
Bingkisan berbau amis di jumput tangan kelingking

Terseok seok langkah dengan ayunan berirama dramatis,,
Langkahnya terhenti
Mata pucatnya melihat lipatan-lipatankertas lusuh,tak lain lidah nabi
Tak pernah terlirik, ada yang terjilid tak rapi.
Klakson-klakson mengejutkan dari lingkaran bulat di ujung kubah putih

Tak kan memalingkan irama sandal jepitnya
Inilah ilalang yang kehilangan tangkai keras patah tersipu terik matahari
Binaan bkiduan yang tak luput dari rahim semanis gulali
Tapi keluar dengan tunas tajam sekaligus pahit

Kau yang tertidur di sana, beralaskan gambar-gambar ka’bah dan menara-menara masjid
Dentuman lonceng tak mengedipkan mata lelapmu
Namun irama seokan langkahnya mampu membuatmu terbangun dari mimpi hasil ramuamu
Dia pulang membawa derita untukmu

Sebelum langkah-langkah nya berirama , telah tersimpan lebih dulu instrument dari gelas-gelas kaca yang dicipta sendiri .
Kemudian kau sambung lidah kotormu dengan lidah nabi
Ketika kau lihat matanya garang, kau mainkan mata sendu penuh wibawa
Kau diakui terlalu mengerti
Jika begitu, jangan kau buat suga simapanan kelabu di hidupmu


Pualam busuk

Tak banyak yang kau ketahui
Tak banyak yang pernah kau gali
Tiba-tiba telah sampai di puncak
Ter  ter ter ter ter

Akarnya saja belum kau ketahui
Kau pasang muka monyet
Penuh bulu lebat mengerikan

Kenapa kau lakukan itu duhai rembulan
Sementara wajahmu terbiasa terpampang
Diantara bingkai-bingkai pualam
Dayaku sudah tak mampu membuatmu mengerti

Yang kau sisakan tak lebih dari sekedar faham yang tak sepenuhnya
Kau pahami
Sedang aku disini........
Bagai kertas kardus lapuk terkena limbah penuh lumpur
Terpelanting jauh karna ulah mu
Namun setidaknya ku bersyukur tak sempat melihat
Tampang monyetmu saat itu.


Si botak

Silang contreng di lembaran dalam map merah pagi itu
Mata sembab buatan memerah ke semua sudut.
Tergesa-gesa dia potong lidah nabi
Lentera-lentera suci itu seakan redup
Tensi darah mereka mulai berkurang

Kokok ayam tadi pagi tak lebih dari irama pembual
Fajar seperti itu lebih indah menatap selokan daripada kabut bawah gunung
Kosong…….
 sapi gemuk tak berisi susu manis
sumpah mati, ingin ku cabuti uban di kepalamu yang botak
kata pengantar di karyamu bohong...

seandainya deretan gelar tertulis dengan tinta putih
tak ku tutup indraku dari hingar bingar rendahan
tinta-tinta habis dalam map merah
footnot berharga dengan tinta abu, saru.

udara panas sekitar dompet tebal menghanguskan lilin-lilin yang belum menyala
ku saingi roda gemukmu dengan punyaku yang payah
 ku acungkan jempol
di atas sana,merah putih…
kakiku terus mengayuh di bawah kaki-kakimu


 

 
Share On:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;