Sebuah kesanggupan
Tercermin dari matanya
Turun ke dadanya
Tak terlihat dengan telanjang mata
Tapi dengan mata telanjang pun bisa
Labing-labing gelap dengan pesona masjid
Al-ayyubi turun dari sela gang dolly
Minta satu..tahun akan segera berganti
Bergilir-gilir dengan kemudi bobol
Kesanggupan tak jadi pilihan
Ikrar tak jadi masalah
Ketepatan bukan sebuah janji tuhan
Bukan ketulusan tapi kebirian
Semenjak tumpah air dari ketuban berdarah
Mati matian dengan erangan
Aku ingin tuli seketika
Membayangkan masa akan bertindak atasnya
Jangan di buai manis, pahitpun salah
Tali temali panjang semoga tak terputus di tengah jalan
Aku pun berderai dengan penuh bangga
Melankolis mengalir dari nadi-nadi penuh semangat
Mimpi apa aku semalam, mendengar azan itu pertanda
kesanggupan
Kepala mahluk lain
Seperti hawa di sore ini
Tulang terasa remuk dengan cuaca yang kian tak menentu
Rinai-rinai gerimis tak terasa akan terjun
Mahluk apa yang terlihat seperti titik hitam di karpet hijau
nan luas itu
Dia berjalan umpama semut
Tergesa-gesa melebihi kekuasaan langkahnya
Sangkakala akan segera tiba
Lebih indah pajar kiranya daripada senja
Lebih rekatkan kaca mata pemberian tuhan
Kini malah kabur saking dekatnya
Dia sambungan dari kerangka-kerangkaku
Tubuhnya indah,lebih menarik dengan kuku-kuku kakinya yang
hitam
Bau keringatnya amat ku kagumi, seperti bau keringatku
sendiri
Dia baru kembali, matanya terlihat sayup
Dia seumpama pemburu
Sasarannya tak tepat ia pun merengut
Karna panahnya penentu nasib kami di rumah
Wajah hijau pucat
Sesuai dengan masa kini
Wajah hijau telah menjadi wajah merah
Tembok-tembok pembatas sebenarnya telah
lama gembur
tinggal tunggu elusan tangan si patung
mulia
yang telah raib,bayangan tanpa jasad
Bintang dibarat dengan hikmahnya di timur
Elusan sentuhan sinarnya lemah dibarat tak
terkalahkan ditimur
Duduk si awam dengan mata terpejam
Hanya tau alif dan ba’ saat dulu dibangku
madrasah
Wajah-wajah tak berdosa
Murni jernih bilang si dia
Hanya tau dan menempati wadah, tak tau
menahu hakikatnya apa.
Atap langit terasa sudah tak sejuk lagi di
waktu malam
Tak ada jawaban, doapun terasa sudah tak
terijabahkan
Dia bilangg…. Itu yang benar, situ yang
durjana .
Bilang saja daku bulu-bulu halus keluar
dari pakaian yang tak pernah di setrika ulang
Aren yang ku sadap tak manis lagi ketika
berhadapan dengan gula
Tak murni lagi seperti buatan yang di
anggap kamil
Geram daku….
Aku bukan tanah bau tak bertuan
Jika saja tembok gembur runtuh dengan
sendirinya
Bukan dengan sebab kau duhai maulanaku
tercinta…!
Kehilangan
Ku tanam seribu mutiara di tengah
gundukan pasir yang besar
Atau mungkin ku pintal benang tuk ku
bentangkan ke arah cahaya yang terang
Berharap esok ku temui utuh, dengan
tak satupun lapuk ataupun menghilang
Itulah salah satu alasan kenapa ku
tanam di pasir, bukannya tanah.
...
Agar ku tak sampai menggali, cukup
hanya dengan terpaan angin
Itulah salah satu alasan kenapa ke
tempat yang terang agar tak terjangkau gelap
Di saat ku sebut namamu dalam redupnya
nyala lilin
Selalu ku ikut sertakan bayangan
keagunganmu datang menyambut langkah_langkah penuh ketulusan
Nirwana yang kau janjikan begitu
sangat jelas,namun remang bagi mata rabunku
Akankah bisa kulihat jelas jika
mutiara yang ku tanam telah hilang satu persatu.
Tak sanggup lagi menerangi langkah-langku
menuju keagunganmu
Layaknya keledai tertinggal kuda-kuda
putih
Siapa daku yang mengharap sinar
rembulan selalu menuntunku ke tempat abadi penuh keindahan
Tak sanggup lagi dadaku berdebar
sembari memikirkannya
Ku pinjam saja bulu mata lentik bidadari
tuk menutupi pandanganku dari segenap kerusuhan
Mawar palsu
Bila saja waktu
itu sesiapa pernah berkata
Datang waktunya
bunga mawar yang merahnya dari darah
Yang ranumnya
dari wewangian
tangkainya dari
sapu lidi
Dan lambaiannya
dari kertas lemas
Biar saja
sesiapapun tertipu
Sang penggemar
pun bisa curiga
Bunga mawar
palsu
Tapi mana
mungkin aku tertipu,
Mataku tercipta
untuk menelanjangimu
aku harap kau
mesti waspada,
patah
tangkaimu,
ayunan pesonamu
sudah tak menarik lagi
Jangankan
mataku, mata rabun pun tahu kau sudah tak menawan
Musnahlah, biar
ku tanam kau di tanah abadi
aku basuh darah
di warnamu sehingga menjadi putih
Hingga kau tak
butuh daun untuk menambah pesona…
Setelah itu kau
boleh bangga , tunggu penghisap harummu yang ranum
Bukan wewangian
buatan lagi yang kau punya wewangian
diriku yang sebenarnya kau dambakan ada padamu sejak dulu
Abituren
tak setia
Seorang
bertengger di balik batu sebesar gunung.
Ibarat
liliput yang dulunya besar, kini
kerdil,kucil,kumal.
Menatap
ke atas tanpa sepatah kata..
Dimana
daku di mana kiranya sepatu baruku.
Kini
ku tak bisa berjalan,jalanan becek,kakiku bernanah,berdarah.
Tak kuat
lagi ku kenakan sepatu.
Dulunya
kalbuku terisi penuh dengan mutiara-mutiara karomahmu
Tak sempat terpikir melirik yang tak perlu di lirik
Seakan ku lihat keranda mayatku telah di persiapkan sebelum tiba
ajalku.
Aku takut.......!!!!
Dulunya petuah-petuahmu tak
sampai jatuh,terlupakan
Melainkan segera ku tunaikan, ku anggap ranting sabda-sabda nabiku
Di sini, kau terasa jauh...!! seakan rasanya tercoreng dari barisan
para abituren-abituren setiamu.
Ku tata kalbu, ku buka wasiat sebagai lem perekat kalbu. Kalbu yang
sedikit bernanah.
Tak sempat ku obati dengan sekedar membaca petuah berhargamu..
Semoga batu besar itu tak digelincirkan longsor ke arah ku.
Sebelum tubuh liliputku membentuk gerakan manuver menuju ke arah mu.
Semoga keranda mayatku belum waktunya terisi
Sebelum kaki bernanahku menemukan sepatu baruku.
dan semoga masih ada tersisa sedikit ruang dalam barisan abituren
abituren itu.
Senduku akan menghilang
Kesepianku akan lenyap
Ketika akan ku pijakkan kaki di kota damaimu.
Penasaran
Ku
habiskan nafasku tuk mengisi ruang kosong di dadamu
Bukan
dulu saat bersamamu,
yang ku maksud kini saat semuanya ku babat
habis
Sebait
demi sebait kata ku rangkai,
tapi bila telah jadi ingin ku sobek mulut jahannam
yang berani beraninya merangkai kata-kata sedemikiannya untuk dirimu
Ku
benci, muak,
jika
saja ruang kosong di dadamu tak pernah ku isi dengan separuh nafasku
Jika
saja malam-malam yang dingin tak pernah mengantarkan jasadmu padaku
Jika
saja ku tau tabir-tabir mimpimu tak pernah ku singkap dengan derai air mataku
Aku
tak kan semenderita ini, membiarkan sang pengemudi di dalam diriku tak tau arah
Yang
kau wariskan hanya pagar-pagar pembatas
Mata
jalang penuh birahi dengan mata selembut selendang sutra
Mana
yang kau pilih, atau tepatnya mana yang termasuk dirimu...
Kulihat
dirimu malang
Kulihat
dirimu seakan-akan terbang ke awan
Kulihat
dirimu kini lebih dari sebelumnya
Terkadang
juga tidak
Ku
lihat dirimu seperti bungkus kacang terlipat-lipat kemudian di buang pemiliknya
Kulihat
liurmu keluar melewati leher
Tidak,
semuanya salah
Karena
aku sendiri tak lebih dari angin lewat
Yang
melihat dan bisa menerka dirimu dalam sekejap
Jika
saja semua itu benar.
Semangat
murahan
Di panjangnya
jalan menuju keterangan sebuah pernyataan
Ku pejamkan
mata,mengharap ku sampai tanpa harus tersandung ibarat si buta
Minat bercampur
dengan gairah
Sementara
kemampuan ku hanya bisa meleburkan batu cadas
Bukanlah suatu
ayal jika bunda tak menghendaki persetujuan,
Ku harap jalan
semakin panjang ketika ku tapaki
Agar lelahnya
bisa kunikmati
Dan suksesku
dapat medali
Ku harap
matahari tak memberi cahaya pada mata meskipun terpejam
Padahal
gelap,sangat gelap, tapi karna semangatku terasa ada sedikit masuk terang
Ku rasa kakiku
kesemutan,
Sebelum akhir
tujuan
Tunggu akuuuuu
Sejatinya inilah diriku, tak bisa melihat
bukan karna tak sempat membuka mata
Tapi memang
mataku buta untuk jalan yang panjang ke
sana
Untuk sementara
hanyut
Ku ingin mengalir.....
Mengisi telaga yang
kering namun terlewati
Ku ingin mengalir.....
Berhenti di tiap tong
kosong yang berwadah tinggi
Ku ingin mengalir.....
Sesuai dengan hukum
air,
menuruni
pipa-pipa rendah yang tak mungkin
menanjak naik
ku ingin mengalir.....
sebesar aliran air
terjun terbesar yang pernah ada
ku ingin mengalir.....
deras, namun tak
satupun mata kumbang terhanyut
ku ingin mengalir.....
melambai indah dengan
dekapan si pemujaku
ku ingin mengalir.....
tanpa akhir
mengerikan, bila kau yang terhanyut bersamaku
penuh sesal jika tak
menemukan arus tuk kembali
Surga simpanan
kelabu
Sendu bertiarap
di bilik
Air bening
meleleh membentuk bundaran-bundaran kecil
Gurun pasir
lembut siaga terpaan angin
Bingkisan
berbau amis di jumput tangan kelingking
Terseok seok
langkah dengan ayunan berirama dramatis,,
Langkahnya
terhenti
Mata pucatnya
melihat lipatan-lipatankertas lusuh,tak lain lidah nabi
Tak pernah
terlirik, ada yang terjilid tak rapi.
Klakson-klakson
mengejutkan dari lingkaran bulat di ujung kubah putih
Tak kan
memalingkan irama sandal jepitnya
Inilah ilalang
yang kehilangan tangkai keras patah tersipu terik matahari
Binaan bkiduan
yang tak luput dari rahim semanis gulali
Tapi keluar
dengan tunas tajam sekaligus pahit
Kau yang
tertidur di sana, beralaskan gambar-gambar ka’bah dan menara-menara masjid
Dentuman
lonceng tak mengedipkan mata lelapmu
Namun irama
seokan langkahnya mampu membuatmu terbangun dari mimpi hasil ramuamu
Dia pulang
membawa derita untukmu
Sebelum
langkah-langkah nya berirama , telah tersimpan lebih dulu instrument dari
gelas-gelas kaca yang dicipta sendiri .
Kemudian kau
sambung lidah kotormu dengan lidah nabi
Ketika kau
lihat matanya garang, kau mainkan mata sendu penuh wibawa
Kau diakui
terlalu mengerti
Jika begitu,
jangan kau buat suga simapanan kelabu di hidupmu
Pualam
busuk
Tak banyak
yang kau ketahui
Tak banyak
yang pernah kau gali
Tiba-tiba
telah sampai di puncak
Ter ter ter ter ter
Akarnya
saja belum kau ketahui
Kau pasang
muka monyet
Penuh bulu
lebat mengerikan
Kenapa kau
lakukan itu duhai rembulan
Sementara
wajahmu terbiasa terpampang
Diantara
bingkai-bingkai pualam
Dayaku
sudah tak mampu membuatmu mengerti
Yang kau
sisakan tak lebih dari sekedar faham yang tak sepenuhnya
Kau pahami
Sedang aku
disini........
Bagai
kertas kardus lapuk terkena limbah penuh lumpur
Terpelanting
jauh karna ulah mu
Namun
setidaknya ku bersyukur tak sempat melihat
Tampang
monyetmu saat itu.
Si botak
Silang contreng
di lembaran dalam map merah pagi itu
Mata sembab
buatan memerah ke semua sudut.
Tergesa-gesa
dia potong lidah nabi
Lentera-lentera
suci itu seakan redup
Tensi darah
mereka mulai berkurang
Kokok ayam tadi
pagi tak lebih dari irama pembual
Fajar seperti
itu lebih indah menatap selokan daripada kabut bawah gunung
Kosong…….
sapi gemuk tak berisi susu manis
sumpah mati,
ingin ku cabuti uban di kepalamu yang botak
kata pengantar
di karyamu bohong...
seandainya
deretan gelar tertulis dengan tinta putih
tak ku tutup
indraku dari hingar bingar rendahan
tinta-tinta
habis dalam map merah
footnot
berharga dengan tinta abu, saru.
udara panas
sekitar dompet tebal menghanguskan lilin-lilin yang belum menyala
ku saingi roda
gemukmu dengan punyaku yang payah
ku acungkan jempol
di atas
sana,merah putih…
kakiku terus
mengayuh di bawah kaki-kakimu
0 komentar:
Posting Komentar