sherlyana.student.umm |
Rumah di hulu
sungai itu tampak hening, nampak dari
jauh seperti rumah hantu tak bertuan, sebagian pemburu ikan tuna di pematang
sawah kerap kali menjadikan teras depan dengan atap daun kelapa sebagai tempat berteduh
sejenak melepas lelah.
sudah lama hampir satu tahun lamanya, dan sudah setahun
pula angin ribut di semua arah mata angin rumah itu berangsur redup dan tak terdengar
kerasak kerusuk meluluh lantakkan bangunan rumah dan tak kalah pula meluluh
lantakkan hati penghuni rumah itu, dulu.
Daun pintunya
yang sebagiannya sudah terkelupas, menampakkan sedikit sisi putih namun tak
lagi terlihat putih dengan coretan gambar boneka barbie dan tulisan nama
lengkap dengan gambar wanita dewasa menggenggam tangan lelaki memakai kopiah,
muahammad dan sari tulisnya. Namun nama muhammad sedikit memudar kendati di
tulis dengan krayon berwarna hitam.
Rumah sederhana, masih lengkap dengan
isinya, tapi tanpa penghuni, sarang laba-laba telah terbentuk, tak kalah
megahnya dengan pelaminan pengantin baru dan rumah imajinasi harry poter. Jika
saja gubuk itu bisa menangis mungkin tubuhnya yang sudah membungkuk akan
tertelan air matanya, tapi selama ini bisu.
Sesekali nampak wanita-wanita yang
kebetulan bertemu saat membuang hajat di sugai dekat rumah berbisik-bisik
sambil sesekali memalingkan wajah mereka ke gubuk itu, seolah-olah takut
terdengar penghuni rumah, itulah mereka yang teramat sirik, entah apa sebabnya.
Hati mereka pantasnya sudah berkalang tanah atau lebih ringannya di bacakan
surat yasin.
Tapi ada apa
dengan hari itu,wanita-wanita di warung dekat jalan raya itu terlihat bergegas
membawa belanjaan mereka sambil berjalan cepat, mendekati sebuah mobil fortuner
mewah yang melintas, bukan mereka pangling dengan mobil tersebut, tapi dengan
wanita berjilbab di dalamnya,wanita berusia 25 tahun yang anggun dengan balutan
gamis ungu tua menenteng tas jinjing hitam keluar.
sembari menebar senyum,
menjabat tangan dan memeluk satu persatu wanita-wanita yang kebanyakan paruh
baya,seorang tua yang sudah berumur senja mendekatinya sambil menagis
menjadi-jadi, nadia, gadis itu tak langsung menepisnya, tapi di peluk dengan
tetesan air mata pula, awan membawa angin sejuk kendati panas, air-sungai yang
mungkin keruh ada harapan untuk kembali
jernih mulai sejak itu, mata-mata sayu sekaligus simpatik masih tetap
melekat pada gadis bertubuh semampai.
Setelah lama, kapala nadia terlihat
melongok ke sana kemari mencari seseorang di antara kerumunan warga yang masih
tersihir pesonanya
.
“ini nak
koncinya, maaf ibu jarang masuk ke dalam, ibu juga merasa tidak berhak, hanya
ibu mau menyampaikan amanah ratna,untuk memberikan kunci rumahmu jika kamu
datang” ibu tua pemberi kunci rumah nadia terlihat ragu-ragu dengan muka di
buat seperti bersalah.
“ia bi ratna
sudah seminggu yang lalu memberitahuku, teimakasih nek” sembari diambilnya
kunci rumahnya dari tangan keriput itu.
Seorang pria
seumuran dengannya keluar menuju bagasi mobil untuk mengeluarkan barang-barang
nadia, tak banyak, hanya satu koper besar dan satu koper kecil.yang jelas koper
kecil itu berisi barang-barang pribadi yang niatnya akan diberikan kepada ibu
tercinta.
Meskipun nadia tau ibunya telah lama meninggal setahun yang lau, tapi
apa boleh buat,barng-barang itu sudah terlanjur di belinya jauh sebelum ibunya
meninggal, tapi sayang kala itu ibarat yang tepat untuk nasib nadia adalah
lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.
sepanjanqik.wordpress |
Mata indahnya nanar
menelanjangi setiap sudut rumahnya yang lapuk terkena air hujan,
tembok-temboknya yang tergores oleh angin, atap-atap nya yang sebagian
bergenteng jatuh berantakan di depan teras rumah, tak kuasa air matanya tumpah
sudah, lutut kakinya seolah lemas, sesekali giginya gemeretak terdengar saling
adu dengan isak, tenggorokannya sangat sakit bagai menelan duri. Lelaki itu
lebih tepatnya suami yang di nikahinya beberapa bulan lalu berjalan menyesek
berusaha memberi jalan untuk nadia segera bisa keluar dari kerumunan.
“mari kita
masuk” bisik lelaki itu pelan
Nadia menelan
ludah mengangguk getir. Apapun yang sudah terjadi tidak bisa ia reka ulang,
ingin rasanya ia tau bagaimana ibunya meninggal, dimana ayahnya dan
adik-adiknya kini berada,di bukanya pintu dan pandangan pertamanya tertuju pada
meja belajar sederhana dan kaca rias di sampingnya, penuh debu,matanya liar,
mencari sesuatu yang seingatnya sudah tidak ada di tempat.
Pegangan di
pundaknya sudah terlepas dari tadi, dia berlari ke dalam kamarnya, tak ada, dia
berlari ke kamar ibunya dan akhirnya ia temukan di pembaringan yang masih rapi,
foto bersama keluarga kecilnaya, nadia, intan, maisarah lengkap dengan ibu dan
bapaknya sedang berpose nahagia.
Rasa
penyasalan mulai timbul kembali, ingatan-ingatan kecil mulai beruntun langsung
mencapai puncak klimaksnya tepat di rasa sakit yang kembali juga di rasakan,
bahkan lebih sakit, dia jatuh ke pembaringan sambil memanggil nama ibu, ibuu,
ibuu.
Seraut wajah
maisarah yang rambutnya di kepang dua datang,seolah-olah mengelus pipi putihnya
yang basah, selanjutnya bayangan nadia memamerkan piagam penghargaan melukisnya
sembari berlari lari kecil di teras depan rumah mereka,mencontohkan ibu gurunya
yang salah memanggil namanya yang kepanjangan.
Tapi nadia spontan menutup wajah
dan meringkukkan tubuhnya yang masih memeluk foto keluarga tersayang. ketika
mengingat sosok lelaki yang di panggil muhammad, wajahnya dingin, lebih dingin
dari es, matanya tidak di penuhi birahi, tapi menyakitkan bila di pandang,
langkahnya menandakan langkah keangkuhan.
otot-ototnya kekar dengan tubuh yang
atletis, tapi bila mengaji suaranya yang mendayu-dayu, mengundang pujian banyak
orang, seorang yang giat bekerja memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah
tangga, tapi dia ibarat kumbang perkasa yang sedikit madunya,di pandangan orang
lain ia adalah orang yang baik hatinya dan di segani masyarakat desa, apalagi
dengan anak-anaknya yang terkenal baik-baik dan bersopan santun.
Sekali lagi
semuanya tidak bisa di ulang kembali, andai kepergian nadia kali itu tidak
dengan mata penuh kebencian menusuk
tajam lurus ke mata ayahnya. Ingatannya memutar balik memori yang menyakitkan.
Bulan-bulan yang penuh penderitaan, kala itu
jangankan emas perak yang habis di jual oleh sari ibu beranak tiga sampai
kompor usang pun ikut di jual di pasar loak, nadia tak sampai hati melihat
perekonomian keluarganya yang carut marut, tak bisa ia tahan adik-adiknya tidak
mendapatkan jatah makan siang, cukup dengan sarapan pagi untuk tenaga
beraktivitas hari itu, dan makan malam untuk bisa merasakan tidur lelap tanpa
harus merasakan amukan perut yang menimbulkan cegukan hangat di mulut perih
menahan lapar.
sari tak lagi memikirkan
biaya sekolah anak-anaknya, yang ia fikirkan hanya bagaimana menambal perut
yang keroncongan minta diisi, ia tak lagi memikirkan perasaan yang
tercabik-cabik dengan ulah suaminya yang kelayapan menghambur-hamburkan uang
tiap malam, matanya sembab selalu terlihat setiap kokok ayam terdengar, di
kompres dengan air hangat agar tak malu
dilihat tetangga.
Semangatnya mulai
berkobar , otaknya berputar memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia lakukan untuk
menghasilkan uang, tak mudah untuk sari menahan rasa sakit sekaligus berfikir
berat dengan tanggungan ketiga anaknya yang belum bisa di bebankan untuk
mencari nafakah, suaminya sudah tak lagi peduli, harapan dan cita-citanya yang
tinggi menyekolahkan anak sulung mereka ke sekolah bagus dan mendapat gelar
setinggi-tinginya kini sudah hampir pupus.
Pikiran nadia
kalang kabut, tak tau harus berpihak kemana, ibu dan bapaknya ia anggap sama
saja, lebih mengedepankan ego mereka ketimbang memikirkan ia dan adik-adiknya,
jika sari ibunya masih punya harapan, tapi tidak untuk nadia yang sudah hampir
putus asa menunggu harapan ibunya terkabul.
devimurti.wordpress |
Bimbang dalam mengambil keputusan
yang tepat kala itu,apakah harus terus bertahan dengan semangat ibunya yang
menggebu-gebu demi mampu menyekolahkannya lagi, atau dia harus pergi dari rumah
itu dengan niat berkorban demi kenyamanan hidup keluarganya.
Pikirannya kalut.
Yang dia harapkan ibunya mendukung apapun keputusannya, namun ibunya bersikeras
untuk mempertahankan yang menjadi keyakinannya bahwa tuhan itu maha kaya.
Berbeda dengan nadia tuhan itu maha kaya dan akan membantu keluarga mereka jika
ayahnya mengerti keadaan hati nadia.
Sekarang di
gubuk kecil itu ia sendiri, mencoba menyesali keegoisan mencari uang banyak
untuk mengakhiri penderitaan di balas dengan nasib lebih getir lagi, rasanya
tuhan tidak adil baginya, seandainya dia sedikit saja bersabar dan sanggup bersakit-sakitan
dahulu sebelum sukses kelak.
seandainya dia mengikuti pesan ibu untuk tetap
bersekolah walaupun ia harus tebal hati dengan keuangan mereka. Tapi itu masa
lalu, ia memutuskan mencari uang, pikirnya dengan uang ia sanggup untuk
berbahagia bersama keluarganya. Ujung-ujungnya ia hanya mampu melihat
kehancuran nasib orang-orang tercinta.
0 komentar:
Posting Komentar