Senin, 09 Februari 2015

Rumah Tua di Hulu Sungai.


sherlyana.student.umm


Rumah di hulu sungai itu  tampak hening, nampak dari jauh seperti rumah hantu tak bertuan, sebagian pemburu ikan tuna di pematang sawah kerap kali menjadikan teras depan dengan atap daun kelapa sebagai tempat berteduh sejenak melepas lelah. 

sudah lama hampir satu tahun lamanya, dan sudah setahun pula angin ribut di semua arah mata angin rumah itu berangsur redup dan tak terdengar kerasak kerusuk meluluh lantakkan bangunan rumah dan tak kalah pula meluluh lantakkan hati penghuni rumah itu, dulu.

Daun pintunya yang sebagiannya sudah terkelupas, menampakkan sedikit sisi putih namun tak lagi terlihat putih dengan coretan gambar boneka barbie dan tulisan nama lengkap dengan gambar wanita dewasa menggenggam tangan lelaki memakai kopiah, muahammad dan sari tulisnya. Namun nama muhammad sedikit memudar kendati di tulis dengan krayon berwarna hitam. 

Rumah sederhana, masih lengkap dengan isinya, tapi tanpa penghuni, sarang laba-laba telah terbentuk, tak kalah megahnya dengan pelaminan pengantin baru dan rumah imajinasi harry poter. Jika saja gubuk itu bisa menangis mungkin tubuhnya yang sudah membungkuk akan tertelan air matanya, tapi selama ini bisu. 

Sesekali nampak wanita-wanita yang kebetulan bertemu saat membuang hajat di sugai dekat rumah berbisik-bisik sambil sesekali memalingkan wajah mereka ke gubuk itu, seolah-olah takut terdengar penghuni rumah, itulah mereka yang teramat sirik, entah apa sebabnya. Hati mereka pantasnya sudah berkalang tanah atau lebih ringannya di bacakan surat yasin.

Tapi ada apa dengan hari itu,wanita-wanita di warung dekat jalan raya itu terlihat bergegas membawa belanjaan mereka sambil berjalan cepat, mendekati sebuah mobil fortuner mewah yang melintas, bukan mereka pangling dengan mobil tersebut, tapi dengan wanita berjilbab di dalamnya,wanita berusia 25 tahun yang anggun dengan balutan gamis ungu tua menenteng tas jinjing hitam keluar.

sembari menebar senyum, menjabat tangan dan memeluk satu persatu wanita-wanita yang kebanyakan paruh baya,seorang tua yang sudah berumur senja mendekatinya sambil menagis menjadi-jadi, nadia, gadis itu tak langsung menepisnya, tapi di peluk dengan tetesan air mata pula, awan membawa angin sejuk kendati panas, air-sungai yang mungkin keruh ada harapan untuk kembali  jernih mulai sejak itu, mata-mata sayu sekaligus simpatik masih tetap melekat pada gadis bertubuh semampai. 

Setelah lama, kapala nadia terlihat melongok ke sana kemari mencari seseorang di antara kerumunan warga yang masih tersihir pesonanya 
.
“ini nak koncinya, maaf ibu jarang masuk ke dalam, ibu juga merasa tidak berhak, hanya ibu mau menyampaikan amanah ratna,untuk memberikan kunci rumahmu jika kamu datang” ibu tua pemberi kunci rumah nadia terlihat ragu-ragu dengan muka di buat seperti bersalah.

“ia bi ratna sudah seminggu yang lalu memberitahuku, teimakasih nek” sembari diambilnya kunci rumahnya dari tangan keriput itu.

Seorang pria seumuran dengannya keluar menuju bagasi mobil untuk mengeluarkan barang-barang nadia, tak banyak, hanya satu koper besar dan satu koper kecil.yang jelas koper kecil itu berisi barang-barang pribadi yang niatnya akan diberikan kepada ibu tercinta. 

Meskipun nadia tau ibunya telah lama meninggal setahun yang lau, tapi apa boleh buat,barng-barang itu sudah terlanjur di belinya jauh sebelum ibunya meninggal, tapi sayang kala itu ibarat yang tepat untuk nasib nadia adalah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. 


sepanjanqik.wordpress

Mata indahnya nanar menelanjangi setiap sudut rumahnya yang lapuk terkena air hujan, tembok-temboknya yang tergores oleh angin, atap-atap nya yang sebagian bergenteng jatuh berantakan di depan teras rumah, tak kuasa air matanya tumpah sudah, lutut kakinya seolah lemas, sesekali giginya gemeretak terdengar saling adu dengan isak, tenggorokannya sangat sakit bagai menelan duri. Lelaki itu lebih tepatnya suami yang di nikahinya beberapa bulan lalu berjalan menyesek berusaha memberi jalan untuk nadia segera bisa keluar dari kerumunan.

“mari kita masuk” bisik lelaki itu pelan

Nadia menelan ludah mengangguk getir. Apapun yang sudah terjadi tidak bisa ia reka ulang, ingin rasanya ia tau bagaimana ibunya meninggal, dimana ayahnya dan adik-adiknya kini berada,di bukanya pintu dan pandangan pertamanya tertuju pada meja belajar sederhana dan kaca rias di sampingnya, penuh debu,matanya liar, mencari sesuatu yang seingatnya sudah tidak ada di tempat. 

Pegangan di pundaknya sudah terlepas dari tadi, dia berlari ke dalam kamarnya, tak ada, dia berlari ke kamar ibunya dan akhirnya ia temukan di pembaringan yang masih rapi, foto bersama keluarga kecilnaya, nadia, intan, maisarah lengkap dengan ibu dan bapaknya sedang berpose nahagia. 
  
Rasa penyasalan mulai timbul kembali, ingatan-ingatan kecil mulai beruntun langsung mencapai puncak klimaksnya tepat di rasa sakit yang kembali juga di rasakan, bahkan lebih sakit, dia jatuh ke pembaringan sambil memanggil nama ibu, ibuu, ibuu.

Seraut wajah maisarah yang rambutnya di kepang dua datang,seolah-olah mengelus pipi putihnya yang basah, selanjutnya bayangan nadia memamerkan piagam penghargaan melukisnya sembari berlari lari kecil di teras depan rumah mereka,mencontohkan ibu gurunya yang salah memanggil namanya yang kepanjangan.

Tapi nadia spontan menutup wajah dan meringkukkan tubuhnya yang masih memeluk foto keluarga tersayang. ketika mengingat sosok lelaki yang di panggil muhammad, wajahnya dingin, lebih dingin dari es, matanya tidak di penuhi birahi, tapi menyakitkan bila di pandang, langkahnya menandakan langkah keangkuhan.

otot-ototnya kekar dengan tubuh yang atletis, tapi bila mengaji suaranya yang mendayu-dayu, mengundang pujian banyak orang, seorang yang giat bekerja memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga, tapi dia ibarat kumbang perkasa yang sedikit madunya,di pandangan orang lain ia adalah orang yang baik hatinya dan di segani masyarakat desa, apalagi dengan anak-anaknya yang terkenal baik-baik dan bersopan santun.

Sekali lagi semuanya tidak bisa di ulang kembali, andai kepergian nadia kali itu tidak dengan  mata penuh kebencian menusuk tajam lurus ke mata ayahnya. Ingatannya memutar balik memori yang menyakitkan.

Bulan-bulan yang penuh penderitaan, kala itu jangankan emas perak yang habis di jual oleh sari ibu beranak tiga sampai kompor usang pun ikut di jual di pasar loak, nadia tak sampai hati melihat perekonomian keluarganya yang carut marut, tak bisa ia tahan adik-adiknya tidak mendapatkan jatah makan siang, cukup dengan sarapan pagi untuk tenaga beraktivitas hari itu, dan makan malam untuk bisa merasakan tidur lelap tanpa harus merasakan amukan perut yang menimbulkan cegukan hangat di mulut perih menahan  lapar.

sari tak lagi memikirkan biaya sekolah anak-anaknya, yang ia fikirkan hanya bagaimana menambal perut yang keroncongan minta diisi, ia tak lagi memikirkan perasaan yang tercabik-cabik dengan ulah suaminya yang kelayapan menghambur-hamburkan uang tiap malam, matanya sembab selalu terlihat setiap kokok ayam terdengar, di kompres dengan air hangat  agar tak malu dilihat tetangga.  

Semangatnya mulai berkobar , otaknya berputar memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia lakukan untuk menghasilkan uang, tak mudah untuk sari menahan rasa sakit sekaligus berfikir berat dengan tanggungan ketiga anaknya yang belum bisa di bebankan untuk mencari nafakah, suaminya sudah tak lagi peduli, harapan dan cita-citanya yang tinggi menyekolahkan anak sulung mereka ke sekolah bagus dan mendapat gelar setinggi-tinginya kini sudah hampir pupus.

Pikiran nadia kalang kabut, tak tau harus berpihak kemana, ibu dan bapaknya ia anggap sama saja, lebih mengedepankan ego mereka ketimbang memikirkan ia dan adik-adiknya, jika sari ibunya masih punya harapan, tapi tidak untuk nadia yang sudah hampir putus asa menunggu harapan ibunya terkabul. 

devimurti.wordpress


Bimbang dalam mengambil keputusan yang tepat kala itu,apakah harus terus bertahan dengan semangat ibunya yang menggebu-gebu demi mampu menyekolahkannya lagi, atau dia harus pergi dari rumah itu dengan niat berkorban demi kenyamanan hidup keluarganya. 

Pikirannya kalut. Yang dia harapkan ibunya mendukung apapun keputusannya, namun ibunya bersikeras untuk mempertahankan yang menjadi keyakinannya bahwa tuhan itu maha kaya. Berbeda dengan nadia tuhan itu maha kaya dan akan membantu keluarga mereka jika ayahnya mengerti keadaan hati nadia.

Sekarang di gubuk kecil itu ia sendiri, mencoba menyesali keegoisan mencari uang banyak untuk mengakhiri penderitaan di balas dengan nasib lebih getir lagi, rasanya tuhan tidak adil baginya, seandainya dia sedikit saja bersabar dan sanggup bersakit-sakitan dahulu sebelum sukses kelak. 

seandainya dia mengikuti pesan ibu untuk tetap bersekolah walaupun ia harus tebal hati dengan keuangan mereka. Tapi itu masa lalu, ia memutuskan mencari uang, pikirnya dengan uang ia sanggup untuk berbahagia bersama keluarganya. Ujung-ujungnya ia hanya mampu melihat kehancuran nasib orang-orang tercinta.
Share On:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;