Senin, 16 Februari 2015

Perlindungan TKI Berbasis Komunitas.


Vivanews

Seperti tertera dalam UU yang mengatur tentang buruh migran, menyatakan tidak ada seorang pun yang ingin menjadi tenaga kerja, setiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak dari pemerintah.

Pada acara konferensi pers, Senin (16/2) di Lesehan Iji Gading Kota Mataram, rekan dari TIFA menyinggung tentang prinsip yang di lakukan selama ini untuk menunaikan hak tenaga kerja atau buruh migran sesuai dengan UU tersebut, ia menyatakan lebih baik melakukan perlindungan dan pemberdayaan yang maksimal daripada harus melakukan rehabilitasi seperti yang kerap kali terjadi dalam berbagai kasus kepulangan TKI contohnya disharmonisasi.

Lebih lanjut di bahas mengenai sepak terjang pemerintah dalam menangani berbagai kasus buruh migran di paparkan oleh Renata selaku program meneger untuk human rights and justice di yayasan TIFA,” kami sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan pemberdayaan dan perlindungan melalu program pembuatan perlindungan TKI berbasis komunitas” 

Program perlindungan TKI berbasis komunitas  ini di lakukan berdasarkan analisis kehidupan TKI di mulai dari sejak keberangkatan sampai kepulangannya ke tanah air. “sistem yang buruk dalam bentuk pengawasan memang selalu di benahi, tetapi penyebab dari semua itu harus juga kita pikirkan penyelesaianya, seperti rekrutmen door to door yang di lakukan para calo TKI, padahal seharusnya masyarakat harus mengurus prosedural pemberangkatan melalui bursa kerja”  ujar saleh, selaku orang yang bergabung dalam NGO.

Mengenai perlindungan TKI berbasis komunitas  tidak dengan cara memberdayakan dan melatih semua TKI bermasalah, tetapi dengan memberdayakan satu orang dengan alokasi dana 25 juta, biarpun mahal untuk di hitung perorang namun terbukti efektif. Satu dua orang terlatih ini akan menulari TKI-TKI lainnya. Jadi tidak perlu melatih banyak orang 25 juta yang keluar cukup untuk merubah sekelompok orang dalam waktu singkat dan pengawasan di lakukan sampai akhir.

Detik 
Permasalahan terberat dalam menangani kasus buruh migran di amati dari sudut pandang pengelolaan remiten setiap kepulangan TKI, mungkin satu dua bulan pasca kepulangan mantan TKI mampu membelikan berbungkus-bungkus rokok dan di bagikan kepada kawan saat ngumpul-ngumpul, lama kelamaan dari rokok bungkus menjadi rokok perbiji, 

Anak istr hanya mampu di belikan baju dan celana sepasang, dalam artian remiten yang di hasilkan tidak mampu menyejahterakan keluarga TKI dalam jangka waktu panjang, dan ujung-ujungnya akan kembali lagi merantau setelah satu dua bulan berada di kampung halaman.

Itulah salah satu tema besar dalam menggalakkan program TIFA tersebut. Pernah sesekali pemerintah menuntut kenaikan gaji di TKI di negeri malaysia, di tanggapi dengan alasan yang cukup jelas oleh pihak yang bersangkutan, 

Mengenai gaji untuk tenaga kerja di negeri tempat bekerja terbilang cukup tinggi karna laju inflasi di negara tersebut tidak tinggi seperti di indonesia, jadi sebesar apapun gaji mereka tetap tidak akan memuaskan apabila gaji itu di pergunakan di negara asalnya. Terang pak subur dari pihak LTSP.
Share On:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;