Vivanews |
Seperti tertera dalam UU yang mengatur tentang buruh migran, menyatakan
tidak ada seorang pun yang ingin menjadi tenaga kerja, setiap orang berhak
mendapatkan penghidupan yang layak dari pemerintah.
Pada acara konferensi pers, Senin (16/2) di Lesehan Iji Gading Kota Mataram, rekan dari TIFA menyinggung tentang
prinsip yang di lakukan selama ini untuk menunaikan hak tenaga kerja atau buruh
migran sesuai dengan UU tersebut, ia menyatakan lebih baik melakukan
perlindungan dan pemberdayaan yang maksimal daripada harus melakukan
rehabilitasi seperti yang kerap kali terjadi dalam berbagai kasus kepulangan
TKI contohnya disharmonisasi.
Lebih lanjut di bahas mengenai sepak terjang pemerintah dalam menangani
berbagai kasus buruh migran di paparkan oleh Renata selaku program meneger
untuk human rights and justice di yayasan TIFA,” kami sudah berusaha semaksimal
mungkin melakukan pemberdayaan dan perlindungan melalu program pembuatan
perlindungan TKI berbasis komunitas”
Program perlindungan TKI berbasis komunitas ini di lakukan berdasarkan analisis kehidupan
TKI di mulai dari sejak keberangkatan sampai kepulangannya ke tanah air.
“sistem yang buruk dalam bentuk pengawasan memang selalu di benahi, tetapi
penyebab dari semua itu harus juga kita pikirkan penyelesaianya, seperti
rekrutmen door to door yang di lakukan para calo TKI, padahal seharusnya
masyarakat harus mengurus prosedural pemberangkatan melalui bursa kerja” ujar saleh, selaku orang yang bergabung dalam
NGO.
Mengenai perlindungan TKI berbasis komunitas tidak dengan cara memberdayakan dan melatih semua
TKI bermasalah, tetapi dengan memberdayakan satu orang dengan alokasi dana 25
juta, biarpun mahal untuk di hitung perorang namun terbukti efektif. Satu dua
orang terlatih ini akan menulari TKI-TKI lainnya. Jadi tidak perlu melatih
banyak orang 25 juta yang keluar cukup untuk merubah sekelompok orang dalam
waktu singkat dan pengawasan di lakukan sampai akhir.
Detik |
Permasalahan terberat dalam menangani kasus buruh migran di amati dari
sudut pandang pengelolaan remiten setiap kepulangan TKI, mungkin satu dua bulan
pasca kepulangan mantan TKI mampu membelikan berbungkus-bungkus rokok dan di
bagikan kepada kawan saat ngumpul-ngumpul, lama kelamaan dari rokok bungkus
menjadi rokok perbiji,
Anak istr hanya mampu di belikan baju dan celana
sepasang, dalam artian remiten yang di hasilkan tidak mampu menyejahterakan
keluarga TKI dalam jangka waktu panjang, dan ujung-ujungnya akan kembali lagi
merantau setelah satu dua bulan berada di kampung halaman.
Itulah salah satu tema besar dalam menggalakkan program TIFA tersebut.
Pernah sesekali pemerintah menuntut kenaikan gaji di TKI di negeri malaysia, di
tanggapi dengan alasan yang cukup jelas oleh pihak yang bersangkutan,
Mengenai
gaji untuk tenaga kerja di negeri tempat bekerja terbilang cukup tinggi karna
laju inflasi di negara tersebut tidak tinggi seperti di indonesia, jadi sebesar
apapun gaji mereka tetap tidak akan memuaskan apabila gaji itu di pergunakan di
negara asalnya. Terang pak subur dari pihak LTSP.
0 komentar:
Posting Komentar