Selasa, 23 Desember 2014 0 komentar

Pelayanan Publik dan Peran Masyarakat

kesbangpol.banjarkab



Diskusi tentang pelayanan publik di kelurahan banjar hari sabtu tanggal 20 desember kemarin berlangsung seru. Di buka oleh sambutan pak erfin kaffah yang menjelaskan bahwa pelatihan tersebut di adakan guna mendorong pelayanan publik di kota mataram. Sebagai pesertanya adalah forum warga kota mataram dan warga kelurahan banjar.

Menurut penuturan pak wiji selaku fasilitator selama diskusi, pelayanan publik itu di rasa memang sudah ada namun perlu di awasi oleh masyarakat. Kemungkinan dengan diskusi sederhana tersebut dan di tunjang dengan pelatihan jurnalisme warga sebelumnya dapat  menimbulkan efek yang bisa membantu upaya peningkatan pelayanan publik ke depannya.

Memang cara diskusi lepas seperti itu lebih membuat warga terbuka dengan permasalahan atau pengalaman yang selama ini di rasakan tentang pelayanan publik, mulai dari pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,perhubungan, perbankan, dan lain sebagainya di kupas sendiri oleh warga.

Meskipun tingkat kepuasan masing-masing orang berbeda namun rata-rata peserta diskusi mengaku mengeluh akan masih minimnya pelayanan publik. Contoh kecil dengan pelayanan di bidang komunikasi dan informasi. Pak maman selaku warga kelurahan banjar mengaku masih awam tekhologi dan media publik, ketika di anjurkan menulis di blog jurnalisme warga. Hal itu menurutnya di karenakan oleh pelayanan internet di kelurahan banjar tidak di fungsikan maksimal, dia tidak tahu menahu tentang adanya pelayanan internet di desanya.

Pernyataan pak maman di bantah oleh pihak dari YKPR provinsi yang menyatakan bahwa di seluruh kelurahan pemerintah kota sudah menyalurkan internet gratis dengan komputernya, jadi kemungkinan jika masih ada warga yang mengeluh tentang pelayanan di bidang tersebut, mungkin pemerintah setempat belum melakukan sosialisasi secara maksimal.

di tambahkan lagi oleh pak geger selaku peserta diskusi, mengatakan bahwa jangankan di mataram, di wilayah bagian sekotong masih banyak warga yang kekurangan bantuan di bidang komunikasi, sinyal di sana masih sangat kurang, mengingat bahwa ia adalah seorang penggali emas liar di wilayah sekotong. Hal itu di bantah dengan alasan yang cukup logis oleh pak syarif, karna memang wilayah sekotong bukan lagi tanggung jawab pemerintah kota mataram. Namun sangat penting untuk di perhatikan oleh pemerintah bersangkutan.

Itu baru berkisar tentang masalah pelayanan di bidang komunikasi, belum lagi di bidang pendidikan. Ketika dilakukan klasifikisi tingkat kemajuan pada masing-masing jenis pelayanan publik, forum menyatakan pendidikan berada pada angka 25-50, dengan alasan yang di ajukan oleh pak maman mengatakan bahwa, memang pelayanan pendidikan yang formal mungkin telah bisa dikatakan sukses, berbicara pendidikan tidak hanya tentang pendidikan formal saja, namun dalam lingkup informal pun harus dimajukan.

Contoh pendidikan yang di jadikan alasan penolakan tersebut yaitu pendidikan bagi ibu-ibu yang tidak punya skill,sementara pengembangan skill sangat di butuhkan untuk bisa hidup mandiri dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Alasan tersebut bisa di terima oleh peserta diskusi yang lain, sehingga sepakat menaruh pelayanan publik di bidang pendidikan masih sangat minim, di ukur dengan angka 25-50,artinya itu masih di bawah setengah dari kesuksesan pemerintah kota.

Lain halnya dengan pelayanan kesehatan yaitu permasalahan jamkesmas. Pelayanan yang satu ini menuai pro dan kontra dari peserta diskusi. Ibu eni perwakilan dari warga banjar dan masih menjabat sebagai kader di desa berseloroh “ saya rasa pelayanan jamkesmas sudah sangat bagus, buktinya jika ada warga saya yang sakit langsung saya bawa ke rumah sakit cepat dilayani meskipun kami menggunakan jamkesmas”

Pernyataannya menimbulkan keributan kecil oleh peserta diskusi yang lain. Salah satu peserta mengatakan “ itu kan di desanya ibu sedangkan kita ini berbicara pelayanan secara menyeluruh, “ ujarnya menggebu-gebu. Di sambut lagi dengan ungkapan-ungkapan yang tidak jelasa dari yang lainnya. Tetapi sedikit membuat forum cair.

Diskusi itu dilanjutkan oleh pak latif dan mbak fitri rahmawati dari aji (aliansi jurnalis independen), dengan banyak membahas tentang pentingnya menulis, jurnalisme warga tidak di adakan semata-mata untuk mendorong tingkat pelayanan publik, akan tetapi lebih luasnya agar bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang banyak.

Sempat di sentil bahwa oleh pak latif “menulis berbeda dengan menyampaikan sesuatu lewat argumen,menulis lebih abadi sedangkan berkata-kata bisa langsung lewat begitu saja” Hanya yang menjadi alasan warga harus menulis agar suara-suara rakyat itu tersampaikan kepada pemerintah melalui media dan sekaligus sebagai informasi bermanfaat untuk khalayak umum.
Senin, 22 Desember 2014 0 komentar

Sebuah Kesanggupan

milworms



Tercermin dari matanya
Turun ke dadanya
Tak terlihat dengan telanjang mata
Tapi dengan mata telanjang pun bisa
itu hanya momok amoral

Labing-labing gelap dengan pesona masjid
Al-ayyubi turun dari sela gang dolly
Minta satu..tahun akan segera berganti
Bergilir-gilir dengan kemudi bobol

Kesanggupan tak jadi pilihan
Ikrar tak jadi masalah
Ketepatan bukan sebuah janji tuhan
Bukan ketulusan tapi kebirian

Semenjak tumpah air dari ketuban berdarah
Mati matian dengan erangan 
Aku ingin tuli seketika
Membayangkan masa akan bertindak atasnya

Jangan di buai manis, pahitpun salah
Tali temali panjang semoga tak terputus di tengah jalan
Aku pun berderai dengan penuh bangga
Melankolis mengalir dari nadi-nadi penuh semangat
Mimpi apa aku semalam, mendengar azan itu pertanda kesanggupan

depan tangga kau di tunggu seseorang
manis dengan lipstik putih
katanya kemarin kubanganmu petang
kini telah terang,ia kan menagih aroma barumu.
Minggu, 21 Desember 2014 0 komentar

Si Udin di Pantai Senggigi ( Penjarah Lokal Untuk Orang Lokal)



kaskus


“Hei kau yang di sana...!!! kemarilah duduk di sampingku, akan ku ceritakan kau sebuah kisah yang unik dan menarik, ide yang datang dari bayangan muka si udin di depan parkiran sana.” Si peneriak tadi ibarat orang tak tau malu memanggil orang yang tidak di kenalnya dari jauh. Ku rasa untuk sebuah prolog kata-katanya terlalu sukar di  mengerti tapi tak mengundang rasa penasaran. Kadang orang hanya tersenyum getir sambil berlalu melewati

Lipatan kakinya dengan kain  bergambar bunga-bunga di taman, taman yang tak hijau tapi biru selaras dengan air laut di pantai senggigi sore itu,  terlihat anggun sebagai perempuan sasak. Ia menenteng tas besar berisi lauk pauk dari desa. Sedari tadi dia menerikkan kepada orang-orang yang lewat dengan prolog yang sama, tapi tak satupun yang mendekat. Tetap berjalan tak menghiraukan sama sekali

Rambutnya hitam, kulitnya sawo matang, wajahnya bak rembulan tapi tak terurus dengan apik,bekas keringat yang mengering membuatnya terlihat lusuh. Tapi tak selusuh semangatnya menceritakan kisah si udin kala itu. Sesekali ia meluaskan pandangan ke arah keramaian turis turis yang berjemur di pinggir pantai, ketika melihat tampak mukanya sangat bingung.

Diotaknya hanya ada cerita udin, cerita beruntun dengan klimaks yang tak ada. Semakin lama ia terduduk di pantai itu semakin bertambah pula alur cerita si udin di dalam imajinasinya. Ia mengolah kata dengan indahnya, tak mampu ia ceritakan pada diri sendiri, kesal rasanya.

Udin di kepalanya semakin liar, menjalar ke sana-kemari, ingin segera keluar, agar bisa di sambung kembali ceritanya di dalam imajinasi yang sudah sangat sesak. Mulai dari parkiran depan sana, beraninya  si udin berkawan lima bak seorang berandal,meminta uang 5000an pada permpuan bersarung sasak tempat wisata murahan seperti itu.” Aku bukan seperti kawan amerika”  umpatnya keras dalam hati.

Beranjak lagi beberapa langkah dari tempat parkiran, terlihat si udin berjejer dengan gaya saudagar pernak-pernik aksesoris dengan harga selangit, dengan bagganya ia menawarkan pada perempuan itu barang lokal untuk orang lokal, “aku tak akan pantas menggunakan topi bundar karna sanggulku tak mungkin ku lepas “ umpatnya lagi tak kalah dengan umpatan yang pertama

Dia menengok ke sebelah kanannya, terlihat perumahan dengan berkotak-kotak rapi, di hiasi dengan pohon-pohon rindang, teringat sangat mirim dengan pajangan stiker di rumahnya. Tak mungkin ia lupa, ia membelinya pada pedagang keliling seharga 2000 rupiah. Akan tetapi di sini amat jelas terlihat, elok sekali rupanya, nyata pula dengan halaman yang luas namu di pagari sebagai tanda pembatas

Lalu beberapa jam kemudian perempuan itu memutuskan berkeliling di sekitar pinggiran pantai, tapi karna melihat si udin yang banyak si tepi-tepi  pantai bergelut bersama turis-turis asing, ia merasa muak, tak di mengerti bahasa pembicaraan mereka, hanya perempuan itu sangat paham dengan apayang dilihatnya, si udin sedang merayu turis membeli semacam tasbih dan hiasan-hiasan rambut. Perempuan itu nyatanya salah paham, bukan tasbih melainkan gelang kaki dan tangan.
magazine.happyholiday.travel


Udin yang lain menawarkan gambar tato pada lalu lalang keramaian, si perempuan terlihat heran,kenapa orang-orang daerahnya sendiri hanya bisa menjajakan dagangan, tidak seperti turis-turis asing yang duduk santai di kafe dekat pantai, memesan mes dengan  harga yang tinggi dengan pelayanan super mewah. 

Sejenak perempuan itu malas berjalan di pasir putih pinggir pantai, ia ingin lewat pinggiran taman indah dengan berugak-berugaknya yang elok dari ilalang,atapnya terlihat halus dari jauh, sekali lgi mirip dengan stiker yang di belinya. 

Anehnya tak ada orang sasak seperti dirinya yang melewati pagar pembatas pantai dengan taman itu,meskipun hanya sekedar lewat. yang ada hanya kelompok-kelompok keluarga turis yang berfoto ria. Oh asyiknya.

Dia tengok pinggir jalan masuk taman, ohh ternyata si udin berkaca mata hitam. Kenapa harus si udin yang menjaga pintu masuk. Jika sudah menyebut si udin pastilah berurusan dengan uang yang tak sedikit.. oh pantaiku gumam si perempuan dalam hati, sembari mengundurkan langkah menuju pinggiran pantai  yang di penuhi udin-udin yang lain.

Akhirnya dia terduduk pada batu-batu di luar pembatas pagar, berselonjor kaki, dan mulai meneriakkan kata-kata aneh, dengan maksud ingin bercerita. Siapapun dia, akan tetapi janagan udin,karna ia yakin si udin tak kan mendengar.

Dia kerap kali menggeleng-gelengkan kepala, sedari kemarin dia duduk di batu yang sama. Hingga hari kedua ada anak kecil sekitar 8 tahunan mendekat ke tempatnya , bukan dengan maksud sengaja, hanya ingin mengambil balon mainan yang di terbangkan angin.

Jarak beberapa jengkal, sontak tangan anak kecil itu di gapainya, yang di pegang tangannya hanya melongo, “ada apa tante yang manis???” ujarnya sambil tersenyum. Mungkin karna dia seorang anak kecil sehingga tidak mampu membedakan wajah lusuh dan cantik, perempuan itu hanya tersenyum. 

Dia tuntun anak itu ke tempat duduknya yang semula,dia merogoh tas cangklong  lusuh yang sedari kemarin tergeletak di sampingnya, oh ternyata sekerat roti pisang coklat harga seribuan, di berikan pada kawan duduk barunya. Senyumnyapun merekah
Anak laki-laki itu hanya terdiam, “ maukah kau mendengar cerita si udin??” ungkapnya  dengan sorot mata yang ceria pada mulut kecil yang mengunyah pisang coklat.

“kenapa kau selalu mengumpat orang yang lewat di depanmu sejak tadi” uajr anak kecil itu
“aku hanya benar-benar ingin bercerita tentang si udin pada mereka, jikalau tak mau, tak apa-apa. Aku tak kuat lagi kembali tanpa bercerita terlebih dahulu. Kau hendak kemana?? Maukah kau mendengar ceritaku dulu baru pergi”

Anak itu mengangguk polos, menelan pisang coklat kunyahan terakhir. Sebelum perempuan itu bercerita, seorang bapak tua sedang memegang balon-balon gas dengan tas yang diikatkan pada pinggang berteriak memanggil anak kecil di sampingnya. 

“hei kemarilah, cepat,,!!! Bapak mau shalat,sebelum pelanggan datang.”
Ada raut kecewa pada perempuan itu, matanya berkaca-kaca. Pikirnya anak sekecil itu kini juga sudah seperti si udin. Kenapa tak sekolah saja biar kelak pintar bahasa inggris dan duduk di kafe menikmati hidangan layaknya turis-turis itu.

Sabtu, 20 Desember 2014 1 komentar

Kerudung Hitam Fatma



ariexmadura.wordpress


Malam itu hujan mengguyur rumah beratap bocor di ujung jalan besar, suara tangis anak kecil pecah,sayup-sayup terdengar bersaing dengan suara deras air dari langit yang menambah kalut suasana di dalam rumah sempit itu, manusia seakan tak mem[perdulikan keadaan, entah karna cuaca yang tak mengizinkan atau mungkin hal itu di anggap tak penting  dan  sudah terbiasa, alampun tak bersahabat daun-daun pohon beringin diujung gang  tak sedikitpun berjatuhan, walau diterpa hujan ganas, enggan menunjukkan rasa kasihan pada tetangganya.

Sebuah pohon yang sudah tak terhitung kalinya mengeluarkan kegaduhan, terkadang suara tangis,teriakan,piring pecah bahkan suara tamparan terdengar jelas walau jarak beberapa meter dari daun pintu rumah mereka . akhirnya suara tangisan itu mengalah tak sanggup bertarung dengan suara hujan.

Satu dua kali hanya ada suara gesekan sapu lidi pertanda percekcokan di rumah tangga itu baru selesai, kini giliran Fatma yang harus membereskan sisa-sisa serpihan piring ulah pertengkaran kakak dan ibunya , dan suara tangisan itu berasal dari adiknya terkasih Amira yang masih belia namun sudah menyaksikan kekejaman takdir hidup manusia

Seakan telah terbiasa dengan keadaan tersebut tak satu bulirpun air jatuh dari kelopak matanya yang anggun, dialah Fatma gadis jelita, cerdas dan tegar hanya saja tak beruntung dengan nasib keluarganya.


Hujan telah reda begitupun kisah yang ditinggalkan pada pohon beringin lengang,sayup-sayup suara azan isya’ memanggil Fatma dengan kerudung hitamnya menerobos malam yang menyisakan gerimis kecil digandengnya Amira, anak mungil itu terlihat sudah tak mengingat lagi kejadian tadi. Disusurinya gang-gang  kecil menuju masjid yang terletak ditengah-tengah desa mereka. 

Diperjalanan Fatma berpapasan dengan Amir, wajahnya tertunduk pura-pura tak melihat laki-laki yang menjadi kekasihnya memperhatikan dari kejauhan sebeum akhirnya berpapasan. Ketika sudah dekat disambarnya tangan Amira.

Mata sembab Amira langsung berbinar melihat Amir, di manapun Amira bertemu dengan Amir selalu dia merasa gembira, dianggapnya Amir adalah pengganti ayah yang telah lama meninggalkan mereka bertiga dia, Fatma dan Rasyid kakak paling tua., si pemabok gila yang selalu melawan.


Melihat mata Amira yang sembab Amir sudah bisa menerka apa yang sudah terjadi, dia tidak berkata apa-apa digendongnya Amira dan mensejajarkan langkahnya dengan Fatma untuk memenuhi undangan dari sang pencipta. Hubungan amir dan fatma sudah terjalin lama hampir semua seluk beluk hidup fatma diketahui, hanya amir yang selam ini menghapus air mata fatma, menjadi obat dari segala keluh kesah kekasihnya.


Sehabis solat isya sengaja berdiri didepan pintu masjid berniat untuk mengobati kegundahan hati fatma.masih lengka[p dengan mukenah birunya  fatma keluar dari area masjid,senyumnya disembunyikan dibalik tubuh amira yang disapihnya.


“ amira ingin jalan-jalan sama kakak?” amir menawarkan ketika sudah dekat dengan fatma

“ jadi amira yang mau diajak bukan aku! Gak adil sekali” ujar fatma masih dengan senyum yang menggetarkan hati amir, dengan centil yang menggelitik amir tersenyum merekah membalikkan tubuh, fatma mengikuti dari belakang 


Ada satu hal yang ingin dikatakan amir, namun masih berfikir dan menimbang apakah akan dikatakan sekarang atau tesok mengingat fatma sedang dirundung duka, mereka terus berjalan terdiam berbicara dengan hati mereka masing-masing.fatma yang selalu tenang didekat amir seolah-olah masalah yang menumpuk digadaikan dulu untuk sementara waktu.  Namun ikatan batin fatma dan amir terpahat sudah begitu kuat tidak ada yang bisa disembunyikan 


“ apa yang sedang kamu fikirkan sehingga membuatmu gelisah seperti itu” suara lembut fatma memecah keheningan malam


Sentak amir terbangun dari lamunan tidak mau terliahat salting diambilnya amira yang sudah tertidur pulas

“ ada yang ingin kusampaikan kepadamu” wajah amir terlihat tenang namun begitu bersahaja di tambah dengan baju koko hitam dengan abu-abu didepannya menambah ketampanannya malam itu. Fatma terdiam menunggu kalimat berikutnya dari amir 


“ aku mungkin akan jadi berangkat lusa bapak jadi mengirimku ke pondok pesantren dijawa,itu yang beliau cita-citakan setelah aku lulus aliyah, aku sudah mengatakannya sebelum ini ku harap ini tidak membuatmu kaget” langkah amir terhenti, dipandanginya wajah gadis yang teramat dicintainya, fatma meneteskan air mata runtuh sudah dinding pertahanan hatinya yang sebelumnya retak. 

tak ada ucapan kakinya terus melangkah berbelok belok menuju gang rumahnya amir masih berjalan disampingnya tiba di depan pintu diambilnya amira dari dekapan amir, tak terasa air mata amir mengalir, berat rasanya ia untuk berbalik. Mereka kini berhadapan.

 “ kau pulanglah istirahat,” bergetarlah suara fatma,a mir hanya diam terpaku menatap lekat-lekat wajah fatma yang bercucuran air mata

“ aku tidak akan jauh darimu, kita pasti akan bertemu lagi” hanya kata itu lalu amir pergi sebelum semuanya berubah.


Setahun setelah keberangkatan amir tak ada lagi yang menjadi penghiburnya, fatma banyak menerima kabar dari teman-temannya yang juga melanjutkan kuliyah ke luar daerah, hanya fatma seoran yang masih bekutat dengan takdir hidupnya yang buruk. Penyakit ibunya kian menjadi, tumor payudara yang sulit disembuhkan serta kelakuan kakaknya yang semakin menjadi-jadi,fatma menjadi buruh cuci untuk istri-istri PNS di desanya hingga suatu hari dia mendapat surat dari  risa sahabatnya dibali.


“ fatma kesinilah, nasibmu akan begitu-git terus jika  didesa, disini ada pekerjaan yang lebih baik dari pada hanya mencuci pakaian, lebih baik menjadi pelayan toko gajinya lebih besar dari hanya sekedar buruh cuci,

Dia tak begitu tergiur sama sekali dia masih memikirkan amira, siapa yang akan menjaganya jika ia pergi.


Malam itu tak hujan namun suara tangis dirumah itu pecah lagi , kini terdengar jelas tanpa hujan. Dan kejadian itu lebih kejam dari biasanya, fatma diseret keluar rumah oleh rasyid, manusia kejam itu seolah sudah tak bisa dikendalikan.


“ pergi kau, jangan pernah ada dirumah ini , jika kamu masih bersikap perhitungan padaku, dasar adik tidak tau di untung “  bentakan rasyid menggelegar bersahutan dengan tangis amira yang semakin menjadi-jadi. Ibu mereka hanya terkulai lemas suara batuknya teramat berat di telinga. Bibir fatma berdarah, kerudung hitamnya  berbentuh sudah tak karuan, sesekali  diseret langkahnya untuk menghindari tendangan kaki jahannam kakaknya , salah satu tetangga fatma merasa iba dan mengangkat tubuh penuh luka itu, dibawa kerumahnya.


Nasib mungkin sudah tak bisa berdama dengannya ingin rasanya fatma berlari jauh dari rumah, menghindari raut wajah kakaknya yang beringas dan menyaksikan tubuh lemah ibunya,namun yang membuat langkahnya berat hanya amira, amira ,dan amira, dan tentu saja ibunya, puas membolak-balik pikiran, ia tertidur pulas dengan hati yang tercabik-cabik, sapu tangan yang diberikan amir pada hari terakhir mereka bertemu selalu setia menghapus air matanya, tak terkecuali malam itu.


Pagi-pagi buta fatma menemui ibunya usai solat subuh, diutarakan niatnya yang sudah bulat untuk menyusul risa ke bali demi mengadu nasib yang lebih baik, sekaligus meminta restu ibu yang selalu dikasihinya. Sayang orang tua itu harus sedikit lebih bersabar dan mengurus amira kecil seorang diri tanpa fatma. 


Hati fatma sakit, iri dengan teman-temannya yang ke luar daerah untuk bersekolah,namun dia keluar daerah untuk bekerja. Langkah fatma diiringi derai tangis ibunya. Namun nasib baik terus menjauh dari kehidupan fatma, dia tidak bertemu risa sahabatnya, namun bertemu dengan germo yang awalnya baik memberi arahan tentang kehidupan dibali,namun lama-kelamaan tubuhnya yang dijual, runtuh sudah kehidupan fatma.


Tidak terima dengan nasib yang menerimanya suatu malam dihempaskannya jilbab hitam yang selalu menambah pesona ayu wajah ayunya, sapu tangan amir dirobek,tak percaya lagi dengan cinta,nasib baik, dia terus melangkah dijalan yang disediakan dihadapannya, menikmati hidup yang bertentangan dengan hati nuraninya..

Fatma tak pernah pulang sudah berapa kali ia dibujuk oleh risa yang sudah tau pekerjaannya, namun hati fatma seolah membatu. Tak tahan melihat keadaan itu risa pulang membawa berita untuk ibunda fatma, tak disangka kabar buruk itu membuat kondisi ibu fatma memburuk. Berkali-kali ia hubungi fatma lewat hp risa, namun ia tidak ingin pulang


Beberapa bulan kemudian, dihalaman rumah yang sudah tak terurus lagi, amira yang sedang bermain dengan sendok, berteriak girang.” Ka’ amiiiiiiiiiiiiirrrrrrrrr.....!!” 


Pemuda dengan peci hitam bundar mengenakan kaos putih seperempat celana hitam membawa bingkisan  diniatkan untuk fatma dan amira. Amira berlari ke arah amir, tubuhnya lansung melayang terangkat kedua tangan pemuda soleh itu, diciumnya pipi amira,setelah puas melepas rindu dengan amira, ia masuk ke dalam rumah, mengelilingi sudut rumah mungil itu dengan mata bundarnya, terlihat kumuh dan berantakan tak terurus. 


Kemana fatma mira? ‘ belum sempat di jawab amira, terdengar suara berat batuk ibu dari dalam kamar.dia tidak punya tenaga untuk menemui amir diruang tamu.


“ Amir, kaukah itu....? kemarilah “ disamping ranjang dengan tertegun dan dadanya sesak, ibu fatma menceritakan semua yang telah terjadi setelah kepergian amir.  Tak kuasa meneahan tangis,ia berlari keluar sekencang-kencangnya tak percaya dengan cerita bu fatma, ingin dia menemui kekasihnya memastikan kata-kata yang membuat hancur hatinya. 

Empat hari amir tak keluar kamar libur kuliyah yang rencananya akan dihabiskan bersama fatma, sudah membubung kelangit hilang ditelan udara. Hari keenam amir memutuskan untuk ke bali mencari fatma, ia merindukan gadis solehah itu, merindukan mata anggun dan senyum dibibir tipisnya


Risa tidak mengantar amir bertemu fatma. Dia hanya memberi alamat fatma, darah amir berdesir, ketika melihat lokasi rumah kontrakan fatma dekat dengan tempat-tempat hiburan, kafe,hotel, didekatinya rumah kontrakan fatma yang lengang, sepi seperti tak berpenghuni, jam menunjukkan pukul 09.17 malam, diketuknya pintu kamar kontraka fatma,mengucap salam namun tak ada jawaban. Lama menunggu ia menanyakan fatma pada teman yang kelihatan baru pulang dari suatu tempat


“ ohhhh mbak fatma, jam segini lagi kerja tuh,depen dagang bakso,” tak disangka yang ditnjuk wanita itu sebuah kafe yang bernama casanova. Amir membuka kopiahnya dan tanpa ragu melangkah ke kafe dan bolak-alik mencari  fatma,tapi tak juga menemukan sosok gadis yang dicarinya, lelah dengan perasaannya campur aduk, dia duduk istirahat di salah satu bangku tamu, seorang wanita membawa daftar menu ke hadapannya, tubuh wanita itu sintal.

lekak-lekuk tubuhnya terlihat begitu kentara rambutnya terurai panjang sampai pinggang dihiasi pemanis berupa pita blink-blinh yang menambah cantik penampilannya. Amr tak menghiraukan wanita itu, ia hanya melihat sekilas, ia memesan air putih saja. Lain dengan wanita yang tadi lain juga wanita yang membawa pesanan amir, gadis itu sedikit lebih seksi dari wanita tadi matanya menghadap ke gelas minuman, rambutnya didikat rapi ke atas. Fatma dialah gadis pembawa minuman amir....


Setelah sampai didepan kursi amir baru mata fatma menghadap ke wajah pelanggan, remang cahaya lampu kafe menyamarkan wajah fatma. jantung amir seakan berhenti berdetak, pedih terasa ditenggorokan, bulu-bulu tubuhnya berdiri,beriring dengan air matanya yang tumpah tak tertahan

“pulanglah fatma, aku ingin menikahimu”


Hanya itu yang mampu dia ucapkan di depan wanita yang sangat dia cintai, tak pandang wanita yang kini didepannya terlihat tak seperti dulu. Niat amir tulus mengembalikan fatma yang dulu dengan kerudung hitamnya do’a amir “sempurnakan imanku dengan menikahi wanita ini, besarkan hatiku menerima kekurangannya maupun kelebihannya dan jadikan dia istri yang terbaik untukku, menjadi bidadari bumi yang sempurna”.

Jumat, 19 Desember 2014 0 komentar

Prinsip Mahasiswa Cerdas (Berangkat dari Sebuah Novel Religius)




 
legenreca83
Berangkat dari sebuah novel, SUJUD NISA DI KAKI TAHAJJUD SUBUH. Buku ini terlihat sangat religius ketika kita melihat dari segi sampulnya, ya memang ini sebuah novel religius!!. 

Buku ini tidak bercerita tentang bagaimana beribadah dengan tuhan yang semestinya, tidak berbicara tentang pertaubatan seorang anak manusia,dll. Tapi buku ini sebagian besar bercerita tentang bagaimana pola pikir mahasiswa seharusnya ketika duduk di bangku kuliyah
 
Novel ini sangat cocok untuk mahasiswa yang pola pikirnya hanya menganggap kuliyah sebagai wadah mengasah potensi diri untuk persiapan pada dunia kerja. Jika kita memandang seperti itu sangat akan kecewa orang-orang yang lulus sarjana dan menjadi pengannguran.

Anggapan seperti ini jangan di kira tidak besar pengaruhnya untuk mahasiswa maupun masyarakat luas, kebanyakan sampai detik ini mahsiswa masih mempunyai pola fikir seperti itu “kuliyah untuk mendapatkan kerja yang layak di masa depan” sebenarnya salah besar.  Lebih parahnya lagi masyarakat kampung yang notabene masih kental ajaran agama, masih banyak beranggapan kuliyah untuk kerja layak.

Dampaknya banyak para orang tua beranggapan miring tentang perkuliyahan, dulunya sewaktu masih banyak sarjana yang sukses , semua orang berbondong-bondong menyekolahkan anaknya sampai level tertinggi, sampai-sampai rela mengorbankan kebutuhan yang lain demi mampu mendanai kuliyah anak-anak mereka, dengan harapan anak mereka kelak akan merubah nasib keluarga.

Itu dulu, tapi sekarang??? Ketika  lapangan pekerjaan sedikit dengan sarjana setiap tahun yang membludak, belum lagi dengan di berhentikannya penerimaan PNS untuk  5 tahun ke depan, jangan salah jika masyarakat yang tadinya terlihat sangat memperhatikan pendidikan pada akhirnya akan berkata “ buat apa kuliyah kalau hanya untuk menjadi pengangguran, dan ujung-ujungnya menjadi pelayan toko “ ironis bukan????

Di desa-desa banyak terliahat pemandangan ganjil, ibu-ibu muda memakai perhiasan emas sampai berpuluh-puluh karat, kalung,cincin ,anting,gelang. Sementara anak-anak muda lulusan SMA/aliyah mejadi kuli punggung, pengarat sapi, pembajak sawah. Kita pasti berfikir seandainya mereka kuliyah dengan emas-emas ibu mereka, alangkah indahnya pendidikan di negeri ini.

Miskin sebenarnya bukan menjadi masalah untuk sebuah pendidikan S1, tapi lagi-lagi harga bangku perkuliyahan hanya di hargai dengan sebuah pekerjaan kantoran. Jangan salahkan ibu-ibu muda itu, wajar mereka adalah masyarakat awam, anggapan mereka ketika anaknya sudah lulus SMA sudah waktunya membahagiakan orang tua.

Maka novel ini menarik untuk di baca sebagai bahan pencerah untuk menganggap perkuliyahan itu hanya untuk pekerjaan. Tokoh utamanya khalifatun nisa’ anak kampung dari orang tua penjual madu, bersaudara 8 dengan kaka-kakak yang masih kuliyah. 

Orang tua seperti orang tua nisa adalah sosok orang tua ideal yang berpola fikir bebeda dari masyarkat kampung lainnya. Bukan hanya anak laki-laki yang seharusnya di kuliyahkan tapi tidak mengapa anak perempuan, justru akan sangat bermanfaat buat kehidupan bangsa, jika perempuan-perempuannya cerdas.

Kemiskinan bukan jadi msalah besar, di sinilah kekuatan niat dan doa, tidak lupa dengan usaha yang maksimal. Orang tua nisa berniat menyekolahkan anaknya bukan karna uang tetapi karna mahalnya sebuah ilmu. 

Nisa’ pun begitu dengan pola fikirnya, sama dengan orang tuanya. Tetapi tidak demikian dengan dinamika di bangku kuliyah yang syarat dengan persaingan dan retorika hidup. Awalnya dia sanggup bertahan melawan arus dengan mahasiswa kunang-kunang, belajar melebihi kadarnya dan tidak lupa dia berusaha mencari uang kuliyah sendri dengan menulis novel.

Alhasil memang beberapa semester berhasil dengan kommitmennya sendiri, tetapi setelah menginjak semester 3 kekuatan prinsip dan imannya di tergoyahkan karna sebuah fitnah yang di tujukan padanya.

Gadis solehah itu mengambil keputusan fatal, membuka jilbab dan meninggalkan dunia tulis menulis, terjerumus pada kegiatan anggota mapala (mahasiswa pecinta alam) dan menyukai life stail.

Namun itu tak bertahan lama, hidayah tuhan selalu ada, mungkin saja keajaiban itu datang oleh karena doa-doa orang tua yang terijabah oleh tuhan, serta niat yang tulus untuk menyekolahkan anaknya, hanya agar bermanfaat untuk orang banyak berkat ilmu yang di dapatkan di bangku kuliyahnya.

Cerita itu sangat mengena di jiwa, memberi amunisi baru untuk aku yang semangatnya berkuarang hanya karna kerikil kecil, jadilah kita pribadi-pribadi yang kuat dengan prinsip-prinsip yang benar. Jangan karna niat kera kita kuliyah tetapi harus dengan niat bermanfaat untuk orang banyak, bukankah sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

 
;