Jumat, 14 November 2014

Perempuan Sasak Tempo Dulu dan Sekarang.

Foto : rumahalir.or.id
Harus ku tulis apa hari ini, air bekas hujan tadi malam meninggalkan aroma sejuk yang menyapaku saat terbangun pukul 6.12 tadi. bibik-bibik tetangga ku sudah ku lihat telah berpakaian necis dengan tas belanjaan besar, rupanya ingin pergi ke pasar. Tersentil sedikit, aku yang anak muda tak tebiasa bangun pagi, setelah solat subuh tidur lagi.

Aku anak perempuan, yang harus berbagga dalam ruang lingkup agama, islam sangat menghargai kaum ku, karna nantinya aku akan melahirkan anak-anak yang di harapkan menjadi penerus khalifah di muka bumi, ketika ku ingat peran itu tak lagi aku berambisi mengejar apa  yang ku inginkan dunia, menyiapkan langkah seribu hanya untuk mimpi yang ku kejar di dunia.

Aku sangat menyukai kesederhanaan, penyerahan diri, ikhtiar yang sesuai dengan kapasitasku, dan impian yang menyamankan ku nantinya. Tidak lebih. Dari dulu sejak masuk kuliyah tepatnya akhir-akhir ini rasanya aku terlalu sering memikirkan masa depan yang katanya rosulullah makruh mamikirkannya. Yang intinya bertawakkallah...

Bagiku percuma saja jadi  anggota dewan, pejabat tinggi, seorang yang terhormat, tetapi dalam hidup tidak menemukan kenyamanan dan ketenangan, kalau nyaman ya tidak masalah, tadi malam ketika bersilaturrahmi pada salah seorang teman yang bergelut dalam usaha cilok yang baru saja di lakoninya aku mendapatkan cerita baru.

Perempuan sasak yang membuat bahan kerajinan dari bambu
Seorang mantan staf ahli DPR RI jakarta,Mukanya agak buram ketika ku temui, bahkan menyuap makanan pun dia seakan tak bisa, ketika kami bertanya kenapa??? usahanya tidak menemukan titik terang  di hari pertama, hanya kembali modal bahan.

“saya panas ketika membuka lapak di samping pedagang cilok yang biasa mangkal di jalan pemuda, pasalnya ketika saya sudah berjualan dari pagi hanya sedikit yang datang menghampiri rombong cilok saya, tetapi ketika si penjual lain mangkal persis di samping gerobak saya,tidak sampai 3 jam dagangannya langsung habis terjual”

Dalam keadaan yang seperti itu memang benar, tidak ada salahnya jika dari awal sebelum memulai apa yang ingin kita lakukan lebih dulu memikirkan sesuatu terberat saat esok pekerjaan itu di mulai, karna semuanya tidak akan semudah apa yang di hayalkan.

Kembali lagi pada ceritaku sebagai seorang perempuan, terlebih perempuan sasak,yang menurut ku sosok perempuan tangguh adalh perempuan sasak . tangguh dalam artian dalam keadaan ekonomi daerah yang masih tergolong ekonomi menegah ke bawah perempuan-perempuan sasak mampu bertahan dalam kondisi hidup yang keras, banting tulang layaknya lelaki.

Kultur masyarakat sasak  yang masih kental dengan kesederhanaan dan kemampuan yang terbatas,mendorong perempuannya juga berfikir layaknya lelaki yang menanggung beban hidup keluarga. Contoh kecil para petani di sawah,menanam padi, memetik cabe, dan pekerjaan-pekerjaan tani yang tidak terlalu menguras tenaga lebih di kerjakan juga oleh perempuan.

Melihat fenomena sedemikian pada perempuan sasak,mungkin di satu sisi ada terbersit kekaguman pada sosok perempuan tangguh ,hormat dan patuh pada suami, tapi di sisi lain ada pendapat yang membikin kuping panas terkait alasan kenapa perempuan sasak di didik hidup dengan cara seperti itu.

lombokwisata.com
Hal ini berkaitan dengan adat perkawinan sasak, yaitu sebelum resmi menikah atau melamar harus membawa lari perempuan yang akan di nikahi, sebagai wujud akan penghormatan pada si perempuan dengan alasan tidak sewajarnya jika lelaki melamar membawa orang tuanya dan membicarakan langsung maskawindan seserahan pada orang tua si perempuan,hal itu berkesan pada adat sasak menjual anak sendiri, maka membawa lari perempuan lebih dulu di anggap salah satu bentuk penghormatan.

Ada sebagaian budaya masyarakat sasak yang seperti itu, ada juga yang tidak, seperti pada bagian lombok timur kebanyakan adatnya tidak membolehkan anak gadisnya di bawa lari, hal seperti itu di anggap sebagai bentuk penghinaan, karna berkesan tidak menghormati orang tua.

Tidak hanya sampai di situ, ada kebiasaan orang tua si gadis meminta mahar dan seserahan yang banyak dalam ukuran masyarakat sasak, artinya di sini bahwa semakin tinggi kasta semakin tinggi pula harga, itulah yang biasa terjadi di masyarakat ku,sehingga tidak salah banyak lelaki yang menganggap bahwa menikahi perempuan sasak adalah sebuah beban berat, padahal pernikahan sesuatu yang indah, sesuatu yang di dambakan.

Akhirnya setelah mnenikah apa yang terjadi, tidak jarang perempuan sasak merasa kurang di hormati, di jadikan pekerja keras, banting tulang. Karna lelakinya menganggap dia telah mempunyai hak atas diri perempuan dengan banyak uang yang di keluarkan saat menikah dulu. Sangat ironis bagi yang mendapatkan nasib seperti.

Berbeda dengan di jawa, baik perempuan maupun lelaki berkewajiban sama-sama mengeluarkan biaya untuk melangsungkan pernikahan, dan tidak bisa di pungkiri setelah menikah ada rasa saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

perempuan sasak harus tangguh, tidak hanya pada soal kerja otot tetapi tangguh oleh karna pendidikan. Belajar dari pengalaman, budaya yang buruk tidak semestinya di pertahankan, tetapi cukup di jadikan sebagai sebuah sejarah yang unik untuk di kenang. Jika sudah manusia mengukur nilai manusia lainnya dengan uang apa jadinya sebuah keluarga atau masyarakat pada umumnya.
Share On:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;