insanmultikultural.wordpress.com |
Sering terdengar ucapan-ucapan yang terkesan merendahkan ajaran syariat
islam, mana lebih banyak mahasiswa yang lebih mementingkan urusan duniawinya
ketimbang urusan akhiratnya.
Banyak yang mengatakan bahwasanya padi semakin berisi semakin
merunduk, tapi pada kenyataannya sekarang keintelektualan seseorang di gunakan
mengkritisi ajaran agama, kalau mengkritisi saja... tetapi pandangan
seolah-olah menjadi suatu ijtihad bagi diri sendiri, bagaimana mau
berijtihad...?
Nilai bahasa arabnya saja tidak memenuhi prasayarat untuk masuk
pintu ijtihad. pemikiran sekuler mungkin sebagai candu yang membuat pemikiran
mahasiswa sedikit keren jika melontarkan argumen, tetapi untuk sekelas
mahasiswa dan soal keyakinan apakah pantas...?
Bukannya merendahkan, dengan realitas yang sekarang kenyataanya
birokrasi kampus menjadi tren gaya terkini atau sejak dari birokrasi itu lahir,
lebih dipilih dari pada dunia akademisi,, walaupun banyak juga yang tidak
mementingkan hal tersebut. Di tataran mahasiswa bukan yang lain.
Suatu agama punya ajaran,suatu ajaran mempunyai teradisi,dan setiap
tradisi mempunyai nilai yang tidak mungkin di sama dengan yang lain. Tapi kerap
kali mahasiswa melontarkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang
semestinya ada pada suatu yang di sebut pembaharuan.
Tidak bisa dipungkiri dunia kampus tidak bisa terlepas dari
organisasi berbasis sederhana, atau mungkin bisa di sebut bibit baru untuk
menunjang masa depan, dan nantinya melahirkan tunas pemikiran baru yang lahir
dari ideologi masing-masing yang di usung.
Tak ada yang salah, semuanya benar, seperti halnya agama samawi yang
berbeda-beda jenis dan ajarannya tapi mengaku tujuannya sama yakni tuhan, entah
siapa yang benar.
Dan satu yang kerap terlontar juga dari mulut mahasiswa ketika
sudah mulai oleng dengan pemikiran sendiri, yang lain ikut-ikutan
menimpali,”itu tergantung pada diri kita” . tak ubahnya dengan taqlid buta tak
tau sumbernya dari mana,kenapa tidak
berittiba’ saja dengan keyakinan yang sudah kita ketahui benar dan
salahnya.
Tuan guru sudah di kritisi,yang paling hangat di santap buku-buku
mujaddid, tapi kerap kali di salah pahami sehingga saat dilontarkan menjadi
nyengir si pendengar. Memasuki dunia kampus berarti siap melakukan proses
pendewasaan bagi akal,jiwa dan raga.
Bagi akal misalnya, bekal yang di bawa dari sekolah atau pondok
pesantern tak ubahnya sebagai ulat yang jika bermetamorvosis dengan sempurna
akan menjadi kupu-kupu yang indah, akan tetapi jika ulatnya gagal?
Apa yang terjadi? Lebih baik menjadi ulat saja dari pada nantinya
busuk dan menjadi nyinyik untuk kehidupan yang sudah bagus. Berbenah dari
kesalahan dan kekurangan memang sangat dianjurkan tetapi apa ia dengan hanya
bermodalkan akal yang masih mentah tanpa acuan yang jelas sudah ada?
Bani abbasiyah sebagai bukti revolusioner yang hasilnya sangat
menakjubkan dan menjadi sejarah yang dikenang manis sampai sekarang, bunk karno
yang terkenal dengan pidatonya yang mengobarkan semangat para pemuda-pemuda
sehingga melahirkan tokoh-tokoh pembaharu dengan pemikiran-pemikiran baru yang
mengundang kemaslahatan untuk banyak orang, itu tak terlepas dari tujuan untuk
pembaharuan dunia
Bukan untuk pembaharuan diri sendiri yang tidak berdasarkan
kesepakatan,suatu pendapat yang di gabungkan dari akal-akal yang sangat cerdas
belum tentu juga benar,pada akhirnya akan melahirkan kesepakatan yang salah,
apalagi yang hanya dari diri sendiri.
Suatu pembaharuan yang nantinya akan menjadi sejarah yang tidak
akan terlupakan apabila suatu pemikiran itu mengandung keuntungan bagi semua kalangan, tak memandang kaum manapun,
jadi proses pendewasaan yang seperti apa yang harusnya tepat di kalangan
mahasiswa?
Jiwa pun juga begitu,pemikiran-pemikiran yang timbul akibat dari
ideologi masing-masing pemeluk suatu organisasi, sekali lagi tak ada yang
salah, tetapi sangat disayangkan jika ideologi tersebut hanya untuk konsumsi
pribadi atau konsumsi golongan, oleh karenanya diakui semua kalangan, berarti
berpengaruh, dan berpengaruh berarti bermanfaat. Jadi alangkah baiknya jika
tingkah laku kita berdasarkan pada apa yang sudah diakui,bukan pada pembenaran
pribadi. Tak ada gading yang tak retak,
semuanya adalah proses pendewasaan jatuh bangunnya manusia awam memang wajar,
Tetapi jatuh bangunnya ulama perlu dipertanyakan,kultur budaya
kampus memang sangat rentan dengan persaingan,dan di sanalah kita akan
menempatkan istilah itu tergantung pada diri kita
Semua kembali ke kita bukan pada soal agama atau keyakinan, karna
hakikat sesuatu tak akan diketahui tanpa di pahami dan disepakati terlebih
dahulu, ironis halnya jika kita tak belajar terlebih dahulu lalu kemudian
melontarkan hal yang nantinya pasti di tertawakan orang lain.
So mahasiswa yang berbasis agama kenapa tidak mendalami agama sedalam-dalamnya bukan
ala kadarnya, sehingga nantinya akan melahirkan pemikiran yang menyejarah,
tetapi bukan dengan cara menjarah.
0 komentar:
Posting Komentar