Jumat, 14 Agustus 2015

Masyarakat dengan mahasiswa badut


uksw.ude

Dua kota jahil menghadapkanku pada makna mendengkur dengan mata melek. Tidak dengan sejuta pesonanya yang menyihir. Bergelayut dengan kehijauan di sekeliling dan senja indah seolah mendekatkan kepada sang  kholik.Desa dasam tereng Narmada namanya, sudah di bilang kota jika sudah merasakan bergaul dengan masyarakatnya, dan tentunya lingkungan. Menggapai sebuah asa dari hasrat ingin belajar itu amat sulit di sini.

Hampir dua minggu lamanya semenjak kaki kami menapak memutuskan hidup bersama masyarakat  dan berharap lingkungan kami ramah menyatu dengan senyuman kami. Mulai mencoba merintis demi sedikit apa yang bisa kami lakukan dengan potensi yang ada.
Kami beriak, mendamba sebuah pembelajaran maupun mengajar apa yang kami bisa ajar. Getaran semangat setiap harinya selalu ada. Bahkan sebelum fajar menyingsing di timur malamnya kami sudah bersiap dengan apa yang akan kami tantang setelah fajar mulai naik.

Keramahan lombok masih mewabah di dusun berwajah kota ini, membuat langkah kami semakin tegar menapak, tak lagi bersemu merah dan menunduk kepala seperti awal pertama kami datang. Menyisir satu persatu dusun desa dasan tereng narmada, namun tetap saja getaran di kaki kami selalu ada saat bibir ini dengan sangat hati-hatinya berkata-kata dengan para tetua.

Banyak pelajaran berharga bagi saya dan teman-teman saya saat bergaul dan bekerja bersama masyarakat untuk memajukan desa, di mulai dari hal kecil seperti mengajar mengaji sampai mendirikan sekolah alam, menampung banyak anak didik menjadikan saya pribadi kecut dan merasa sangat bodoh pada bidang keilmuan dasar seperti matimatik dan sejarah islam misalnya.

Itulah kenapa saya mengatakan di dusun-dusun yang sudah bergaya kekotaan sangat sulit terasa kami mengajar dan mengambil pelajaran, bukan karna masyarakatnya bodoh sehingga kami tak dapat belajar pada mereka namun sebaliknya, ternyata dalam hidup bermasyarakat bagi kami berlapis almamater sangatlah sulit.

management darmajaya


Dulunya saya tidak tau kenapa harus tetua-tetua desa setiap malam mengadakan  rapat pada perayaan hari-hari besar islam, tidak lain alasan yang kami rasakan sekarang ketika mengadakan acara dengan sasaran masyarakat karna alasan malu terlihat tidak sempurna, padahal mahkota keilmuan kami dianggap lebih tinggi di bandingkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali.

Menaklukkan desa berwajah kota menguras pikiran sekaligus perasaan. Di dukung dengan kegiatan remajanya yang maju, dan sumber daya manusia cerdas dalam mengembangkan desa, serta kepala desa yang cerdas dalam membantu perekonomian masyarakatnya, gigi kami bergeretak tak ingin kalah oleh pemikiran orang tua.

Di desa dasan tereng yang sudah memiliki sumber bio gas sendiri dan pekerjaan penduduk rata-rata wiraswasta membuat kami bingung apa yang harus kami lakukan untuk membantu, sedangkan masing-masing dari kami datang dari jurusan yang berbeda-beda dan keahlianpun tak sama.

Memang ada beberapa dari kami yang mempunyai ide bagus untuk mendapat perhatian dari masyarakat, memungkinkan bagi teman yang lain untuk mengikuti dan menyetujui ide-ide mereka, tapi lagi-lagi otak kami dan emosi masing-masing dari kami berbeda-beda, membuat saya merasa harus menjadi penengah dan pendengar yang baik bagi teman-teman saya.

Kami berempat belas orang, segala perbedaan harus kami samakan dan biasakan dalam jangka waktu satu minggu. Karna kami hanya mempunyai 50 hari di desa yang mempunyai 8 dusun ini. satu minggu beradaptasi kami rasa cukup. Setelahnya program harus berjalan sesuai rencana. Bukan semata-mata karna mengejar nilai dari dosen pembimbing, lebih dari itu beban moral di masyarakat jauh lebih menakutkan dari sekedar niali E.

purbaligga


Seminggu berselang, hawa segar mulai mendekati, membuat sendi-sendi otak kami tak lagi teganga, menjadikan memori kami menangkap pemikiran-pemikiran liar. Anak-anak kecil usia mulai dari 2- belasan tahun mendekat, super aktif dan terlihat berkembang dengan retorika kekotaan mereka. Pikiran saya berputar, jika tidak orang tuanya kami buat bersimpati, maka dari anaknyalah kami memulai.

Rancangan sekolah alampun mulai di buat, sekolah yang tidak hanya guru sebagai pengajar dan membagi ilmu, akan tetapi lebih dari itu alamlah yang menjadi gurunya. Kami bekerja sama dengan karang taruna (remaja desa), mencampur anak dari 8 dusun untuk dua lokasi sekolah alam.

Hari pertama kami mengajar kami berpencar ke dua tempat tersebut, fokus pelajaran yang kami sepakati sebelum fajar itu menekankan pelajaran bahasa inggris dan bahasa arab, menggaet minat belajar mereka ternyata amatalah sangat gampangg, dari sini saya belajar ternyata anak yang super aktif dan terkesan nakal lebih gampang di ajar ketimbang anak penurut namun tak bisa menagkap, ujung-ujungnya kami terkesan membosankan.

Saya terenyuh dengan salah satu dusun yang memiliki kadus bernama selamet uji, di hari pertama saya dan kawan-kawan mengajar di sekolah alam, rombongan anak SD dan SMP dari dusun pengenjek di datangkan ke masjid dusun karang sidemen untuk belajar bersama kami, lengkap dengan mukenah dan peci serta buku tulis plus polpen di dada. Saya takjub, dusun yang lumayan jauh jaraknya dari lokasi sekolah alam sangat terbuka anak-anaknya untuk belajar bersama, ada sesuatu mengalir dingin di dada saya dan kawan-kawan, lokasi awal kami di masjid karna lokasi sekolah alam yang sebenarnya di PAUD belum matang di persiapkan.


Kami ceria. Kami menatap anak-anak itu dengan nanar, bergetar dan menggema suara mereka, membuat saya pribadi bersemangat, meskipun saya bukanlah mahasiswa dengan beground pendidikan seperti kebanyakan kawan saya.

Bermayarakat bagi kami mahasiswa bodoh, baru belajar tata cara berbicara sopan, dan bersilaturrahmi di dusun yang tak satupun kami kenal penduduknya menjadikan tingkat kedewasaan kami semakin tinggi, rasa sosial kami terlatih, tidak hanya sekedar  teori membosankan di abngku kuliah. Di dusun berwajah kota aku tersadar mahasiswa itu terkadang seperti badut bodoh yang mempunyai remot kontrol.

Share On:

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Ulasannya menggelitik dan nakal, dengan bahasa mengalir, enak dibaca tulisannya dik, teruskan

Unknown mengatakan...

Gaya menulismu, mirip gaya menulis Nisa ondeng, meledak ledak dengan bahasa jenaka yg membuat gergetan dengan argumennya

Posting Komentar

 
;