Selasa, 09 Agustus 2016

Kembali Lebih Asyik Dari Sekedar Mengurus Politik.



“Tak ada jalan lain katanya, kecuali kembali ke pesantren” ungkapan itu menghujam dan masuk saat I’tikad baik yang tak terealisasikan  jamaah NU pada zaman orde lama. Tak diundang tak berarti berhenti berjuang, menegakkan kebaikan direalisasikan dengan mendirikan khilafah adalah sebuah niat baik kiai hasyim al-asy’ari selaku pendiri NU kala itu. Namun kembali bukan pilihan terbaik menurut para hasyim kekinian.

Mungkin karna zaman tak pernah juga kembali, harga barang dan mode selalu mengalami perbaikan, dan tingkah dan pola hidup sudah tak menentu. Harus diluruskan, sekarang itulah yang mesti dilakukan NU, jangan ada kata kembali lagi.

Diantara yang istimewa dan mendesak untuk terus diingat dan disosialisasikan adalah cara berislam yang tepat dan proporsional, untuk mencapai itu semua dibutuhkan paham ahlussunnah waljamaah, tak ada yang membatasi ihtiar dengan cara apapun selama itu baik.

Bukan saja NU yang berkepentingan untuk tugas berat tersebut. Ada 300 lebih faham yang beredar saat ini, sebagai organisasi besar dan terkenal baik, tak layak jika NU menganggap paham ahlus sunnah satu satunya cara untuk kembali. Diantara sepersekian paham tersebut kenakalan kenakalan nalar dan teologi sudah sangat keras dan menantang, tak perlu contoh konkrit, kita semua sudah tau karna ratusan paham tersebut sudah mulai menampakkan diriya lewat media sosial.

Mengakui mereka tak berarti harus memungkiri dan menghujat seperti lakon pra politikus itu. Salah satu fungsi aswaja an-nahdliyah adalah sebagai paham atau ajaran yang diinternalisasikan dalam bentuk ubudiyah, bersosial dengan sesama adalah pola yang tepat untuk menjalankan agama islam kita tercinta, pendapat tersebut pernah saya dengar dari ketua aswaja NU center kabupaten jombang, jawa timur Yusuf Suharto.

Namun yang terjadi saat ini tentu sangatlah jauh dari kalimat tersebut. Jauh panggang dari api. Salah satu penyebabnya mungkin adalah tergiurnya para tokoh tokoh kita dengan dunia perpolitikan yang jauh lebih asyik daripada sekedar bersosialisasi lewat dakwah lisan maupun tulisan. Pertanyaan sekarang adalah mampukah NU kembali? ke majlis mungkin masih, namun begitukah dengan pesantren?.

Dinamika sosial yang tidak hanya tenar dikalangan atas akan tetapi juga dikalangan masyarakat menengah kebawah, seperti maraknya kasus kasus mengerikan. saya mengambil contoh kasus pembunuhan dan pemerkosaan.

Hal tersebut sudah saatnya menjadi bahan evaluasi untuk organisasi besar ini yang harus terangkum dalam wadah dan eskekusi dari internal, bukan dalam bentuk tindakan para pengusung partai. Bukan tak berguna, hanya saja politik tak bisa menjadi satu, sementara kedamaian dan ketentraman itu akan kembali jika NU pun kembali.

Infrastuktur NU sejak awal dibangun diatas tiga pilar utama, semangat kebangsaan (Nahdlatul wathan) , semangat atau kebangkitan ekonomi (nahdlatul tujjar) dan gerakan pengembangan pemikiran (taswirul afkar). Infrastuktur yang komplit dengan sisi berbasis kultural di indonesia. Marilah melihat dari sisi kebersatuan tujuan yang tengah diperjuangkan oleh seluruh organisasi-organisasi lainnya.

Jika ketiga pilar tersebut frekuensi kekuatannya sama dengan masa orde lama kita tak perlu gusar. Semangat kebangsaan sudah tentu akan seimbang jika pengembangan pemikiran tak lagi primitif dan transeden. Apalagi dibarengi dengan majunya prekonomian, ekonomi selalu sangat menarik jika diakaitkan dengan hukum sebab akibat, adanya tingkah polah hidup kasar tak beradab bukan hanya menyangkut ahlak namun juga fakta ekonomi dilapangan. Oleh karna itu ORMAS menjadi ujung tombak terpenting untuk meletakkan batu pertama diatas ketidakberdayaan kultur umat saat ini.

Begitupun dengan pejuang NU kampus, para santri yang menjelma sebagai mahasiswa, memainkan peran dari tekstual kepada kontekstual, dalam keilmuan beranjak ke kontemporer. Tak harus menjawab tantangan diatas dengan menjadikan diri terpencil dari pergaulan atau menjadi rakus dengan jabatan.

Dua sisi bertolak belakang, namun sama sama bermuara pada satu hal, yaitu keyakinan. Keyakinan itu pastinya terangkum dalam ilmu-ilmu yang disampikan melalui corong organisasi. satu satunya solusi mungkin adalah kembali dengan cara yang asyik.

satu ciri aqidah ahlus sunnah wal-jama’ah adalah aqidah yang sejalan dengan fitrah dan logika yang benar, tak harus banyak gaya, tapi jangan sampai mati gaya. Kerusakan yang kita lihat tak harus menyelesaikannya dengan cara pengajian dan menyebarkannya lewat dakwah nan membosankan. Mereka para oknum oknum perusak tak kehabisan gaya untuk berlaku curang, nah kita punya cara mengembalikan mereka dengan cara yang mengikuti zaman.

Share On:

0 komentar:

Posting Komentar

 
;